Jun 30, 2025

Laba Q1 Amazon Naik, Namun Proyeksi Q2 Membuat Saham Merosot

Default Featured Image

Amazon Inc. (NASDAQ: AMZN) mencatatkan kinerja keuangan kuartal I 2025 yang melampaui ekspektasi Analis. Namun, panduan pendapatan operasi kuartal II yang lebih lemah dari perkiraan langsung menekan harga saham perusahaan, yang anjlok lebih dari 4% dalam afterhours trading.

Raksasa ecommerce ini membukukan laba per saham (EPS) sebesar $1.59 dari pendapatan $155.7 miliar, mengalahkan konsensus Bloomberg yang memperkirakan EPS $1.36 dan pendapatan $155.1 miliar. 

Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Amazon berhasil meningkatkan pendapatannya dari $143.3 miliar, dan melipatgandakan laba per saham dari $0.98.

Segmen AWS (Amazon Web Services), mesin profit utama perusahaan mencatat pendapatan sebesar $29.3 miliar — sesuai ekspektasi Analis.

Panduan Q2 yang Suram, Saham Tertekan

Untuk kuartal II, Amazon memperkirakan pendapatan operasional berada di kisaran $13 miliar hingga $17.5 miliar, di bawah proyeksi konsensus sebesar $17.8 miliar. 

Perusahaan juga menyebut akan ada dampak 10 basis poin terhadap penjualan kuartal II, tanpa merinci lebih lanjut sumber tekanannya.

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran market bahwa pertumbuhan agresif Amazon bisa menemui hambatan jangka pendek, terutama di tengah tekanan global dan potensi pelemahan daya beli konsumen.

Ketegangan dengan Gedung Putih Soal Tarif

Di luar kinerja finansial, Amazon juga menghadapi tekanan politik dari Pemerintahan Trump. Awal pekan ini, laporan dari Punchbowl News menyebut Amazon berencana menambahkan komponen tarif impor ke dalam harga produk. 

Gedung Putih menanggapi dengan keras, menyebutnya sebagai “langkah bermotif politik.” Presiden Trump bahkan disebut secara langsung menghubungi Jeff Bezos.

Amazon segera membantah laporan tersebut. “Gagasan itu hanya dipertimbangkan oleh tim Amazon Haul dan tidak pernah disetujui,” kata juru bicara perusahaan, Tim Doyle.

Trump kemudian melunak dan menyatakan dalam jumpa pers bahwa “Jeff Bezos melakukan hal yang benar. Orang baik.”

Namun insiden ini menyoroti kerentanan perusahaan teknologi besar terhadap kebijakan ekonomi yang cepat berubah, terutama saat tarif impor atas produk dari Tiongkok mencapai 145%, dan bea menyeluruh sebesar 10% diberlakukan untuk negara lain.

Risiko Tarif dan Konsumsi Global

Analis UBS, Stephen Ju, menilai bahwa lebih dari 50% produk di platform Amazon berpotensi terdampak oleh kebijakan tarif baru. 

> “Konsumen akan menghadapi pilihan yang lebih sulit dalam membelanjakan uang mereka,” tulis Ju.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa efek domino dari penurunan ekspor ke AS bisa berdampak terhadap tenaga kerja global dan memperlambat pertumbuhan nilai transaksi lintas negara.

Laba Q1 Amazon Naik, Namun Proyeksi Q2 Membuat Saham Merosot
by Ajeng Sri


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan