Sentimen Wall Street terhadap saham bertema kecerdasan buatan (AI) mengalami pergeseran besar di penghujung 2025. Jika sebelumnya OpenAI — rumah bagi ChatGPT — dianggap sebagai “penyelamat pasar saham”, kini posisinya mulai goyah. Sebaliknya, Alphabet (GOOG) tampil sebagai kandidat terkuat untuk merebut status pemimpin dominasi AI global, seiring membaiknya fundamental, kekuatan modal, dan ekosistem bisnis yang solid.
Perubahan arah pasar ini tidak hanya berdampak pada kedua raksasa teknologi tersebut, tetapi juga mengguncang saham-saham mitra strategis di seluruh rantai pasok industri AI, mulai dari chipmaker hingga penyedia infrastruktur cloud.
OpenAI: Dari Bintang Pasar Menjadi Beban Kekhawatiran
Awal tahun 2025 menjadi masa kejayaan bagi OpenAI. Setiap kerja sama atau belanja infrastruktur perusahaan langsung memicu reli saham mitra, seperti:
- Oracle (ORCL) – penyedia cloud computing
- CoreWeave (CRWV) – infrastruktur GPU
- AMD (AMD) – pemasok chip akselerator
Tak ketinggalan, saham raksasa teknologi seperti Microsoft (MSFT), Nvidia (NVDA), hingga SoftBank — yang memiliki sekitar 11% saham OpenAI — ikut menikmati efek euforia AI.
Kini, kondisi berubah drastis. Pasar mulai mempertanyakan kemampuan OpenAI menghasilkan profit, terutama di tengah:
- Beban belanja modal (capex) masif untuk server dan pusat data
- Skema pembiayaan kompleks dan kerja sama circular deal
- Tekanan utang yang semakin disorot investor
Peluncuran GPT-5 pada Agustus lalu pun tak sepenuhnya diterima positif oleh pasar. Respons yang dinilai biasa saja mengikis kepercayaan bahwa OpenAI masih berada di garis terdepan inovasi AI dibanding rival-rivalnya.
Sentimen negatif kian menguat setelah Alphabet memperkenalkan versi terbaru Gemini AI yang menuai pujian luas. Tekanan kompetisi ini bahkan memaksa CEO OpenAI Sam Altman mengumumkan status “code red”, memusatkan ulang fokus perusahaan untuk meningkatkan kualitas ChatGPT, sambil menunda berbagai proyek lain.
Alphabet: Dari Penantang Jadi Kandidat Raja AI
Berbanding terbalik dengan OpenAI, Alphabet justru mendapat “angin segar” di mata investor. Raksasa teknologi ini dinilai memiliki paket lengkap untuk memenangkan perang AI:
- Kapitalisasi pasar terbesar ke-3 di S&P 500
- Cadangan kas melimpah untuk membiayai eksperimen dan ekspansi AI
- Google Cloud sebagai tulang punggung komputasi
- Unit manufaktur semikonduktor internal
- Kepemilikan aset strategis seperti YouTube, Waymo, serta jaringan distribusi global
Lebih dari sekadar hype teknologi, Alphabet dianggap memiliki end-to-end AI ecosystem — mulai dari data, talenta, chip, cloud, hingga produk konsumen.
Sejumlah analis menilai Alphabet sudah memiliki “seluruh potongan puzzle” untuk menjadi model builder AI dominan di dunia.
“Beberapa bulan lalu, gelar tersebut hampir pasti disematkan kepada OpenAI. Kini situasinya lebih cair — kompetisi meningkat, dan risiko kegagalan OpenAI makin terbuka,” ujar Brian Colello, Senior Strategist Morningstar.
Saham Mitra Alphabet Tercetak Winner AI Baru
Dominasi Alphabet tak hanya mengangkat harga saham GOOG semata, tetapi juga mitra-mitra utamanya di sektor AI infrastructure:
- Lumentum Holdings – pemasok komponen optik data center, saham melesat >300% YoY
- Celestica – penyedia hardware AI buildout, melonjak 252% sepanjang 2025
- Broadcom – pengembang TPU chip Google, naik 68% sejak akhir 2024
Sementara itu, performa saham yang terafiliasi dengan OpenAI sekarang bergerak lebih tertahan di tengah tekanan jual. Secara data:
- Basket saham OpenAI naik 74% di 2025
- Basket saham Alphabet melesat 146%
- Nasdaq 100 sendiri hanya naik sekitar 22%
Perbedaan performa ini menegaskan rotasi modal besar-besaran dari ekosistem OpenAI menuju Alphabet.
Risiko Finansial OpenAI Makin Menganga
Posisi OpenAI semakin sulit jika:
- Pertumbuhan pengguna ChatGPT melambat akibat migrasi ke Gemini
- Pendapatan gagal mengejar eskalasi biaya cloud dan chip
- Kontrak pembelian infrastruktur terus menggerus arus kas
Investor mulai menghitung ulang: apakah OpenAI mampu membiayai ekspansi ambisiusnya tanpa mengorbankan neraca keuangan?
Namun sejumlah kesepakatan besar OpenAI dalam beberapa bulan terakhir juga masih memantik optimisme sebagian pelaku pasar. Kini pasar memilih bersikap “wait and see” — bukan langsung euforia seperti sebelumnya.
Euforia AI vs Realita: “Dot-Com Era on Steroids”
Brian Kersmanc, Portfolio Manager GQG Partners yang mengelola dana US$160 miliar, menyebut kondisi saat ini sebagai “dot-com era versi steroid” — euforia yang masif namun penuh spekulasi.
GQG sendiri telah mengubah strategi dari overweight sektor teknologi menjadi lebih skeptis, seiring meningkatnya kesenjangan antara valuasi pasar dan kemampuan menghasilkan profit riil.
Repricing AI Stocks: Dari Hype ke Fundamental
Apa yang terjadi saat ini mencerminkan pergeseran fase AI investment cycle:
- Fase 1 – Hype Adoption: siapa pun yang terhubung ke AI meroket.
- Fase 2 – Reality Check: investor mulai memilah berbasis profitabilitas, neraca sehat, dan keunggulan struktur bisnis.
Dalam fase baru ini, Alphabet tampil sebagai kandidat paling solid, sementara OpenAI harus membuktikan bahwa ambisi besar bisa disandingkan dengan model bisnis yang berkelanjutan.
Kesimpulan: Dominasi AI Masih Terbuka, Tapi Alphabet Unggul Sementara
Pertarungan AI global belum berakhir. Namun pasar untuk sementara memberi penilaian tegas: Alphabet unggul secara fundamental, sedangkan OpenAI masih berjuang memulihkan kepercayaan investor.
Bagi pelaku pasar, fenomena ini menjadi pengingat penting:
Dalam investasi, teknologi hebat tanpa profitabilitas tetap berisiko tinggi.
Rotasi menuju saham-saham AI yang “punya ekosistem dan neraca kuat” menandai era baru investasi AI — bukan lagi berbasis harapan semata, tetapi berdasarkan kekuatan bisnis nyata.






