Saham Advanced Micro Devices (AMD) akhirnya melepas sebagian euforia setelah melesat hampir 97% dalam enam bulan terakhir. Dalam 30 hari terakhir, sahamnya terkoreksi sekitar 15%, sebuah penurunan yang terlihat normal. sampai muncul satu variabel baru yang mengguncang pasar: ancaman serius dari Google AI chips.
Koreksi ini muncul setelah reli agresif yang dibangun oleh optimisme investor terhadap:
- Lonjakan permintaan komputasi AI global,
- Posisi AMD sebagai alternatif utama Nvidia,
- Kemitraan strategis dengan raksasa teknologi seperti OpenAI dan Oracle.
Namun, narasi manis itu mulai retak bukan karena AMD gagal berinovasi, melainkan karena medan perangnya berubah.
Google TPU: Penantang Baru yang Mengubah Peta Persaingan
Laporan The Information mengungkap bahwa Meta Platforms sedang mempertimbangkan investasi miliaran dolar untuk menggunakan chip AI khusus milik Google, yaitu Tensor Processing Units (TPU).
Mengapa ini penting?
Karena selama ini pasar server AI didominasi oleh GPU terutama Nvidia, disusul AMD sebagai challenger. Tetapi jika TPU Google semakin matang dan diadopsi pemain skala jumbo seperti Meta, maka permintaan GPU dapat tergerus, termasuk dari AMD.
Ini bukan sekadar kompetisi biasa, ini ancaman model bisnis. Jika perusahaan skala raksasa beralih ke silikon custom (Google, Amazon, Microsoft), maka pemasok GPU tradisional harus memutar strategi. AMD selama ini “hidup” dari momentum anti-monopoli terhadap Nvidia. Tetapi jika pelanggan besar memilih jalur chip internal, AMD tak hanya melawan Nvidia, tetapi juga menembus tembok raksasa teknologi.
Namun Jangka Panjang AMD Tetap Masif
Meski tekanan jangka pendek memicu volatilitas, prospek jangka panjang AMD tetap tidak main-main. Pada acara Financial Analyst Day terbaru, manajemen membentangkan proyeksi yang, jika tercapai, akan mengubah AMD menjadi salah satu raksasa AI paling agresif.
Inti proyeksi AMD mencakup:
- CAGR pendapatan >35% dalam 3–5 tahun.
- Margin operasi >35% (dari 24% pada Q3 2025).
- EPS diproyeksi tembus >$20.
Pendorong utamanya adalah Bisnis data center yang tumbuh eksponensial.
AMD menargetkan:
- 60% CAGR untuk segmen server CPU,
- 80%+ CAGR untuk segmen AI data center,
- Peluncuran roadmap GPU AI besar: MI350 (2024), Helios/MI450 (2026), MI500 (2027).
Dengan dukungan cloud provider seperti Oracle, AMD terlihat mempersiapkan perang panjang untuk mengikis dominasi Nvidia di pasar AI accelerators.
Adaptive Computing: Senjata Tambahan AMD yang Jarang Disorot
Selain GPU dan CPU server, AMD memperkuat posisinya pada:
- FPGA (adaptive computing via Xilinx),
- custom silicon,
- embedded solutions untuk otomotif dan industri.
Manajemen menargetkan >70% revenue share di kategori adaptive computing, pasar bernilai miliaran dolar yang tumbuh seiring penetrasi edge AI, robotika, dan 5G.
Banyak analis menilai segmen inilah yang bisa menjadi “pilar kedua” AMD jika persaingan GPU AI semakin brutal.
Valuasi Tetap Jadi Masalah Besar
Meski prospeknya menggoda, harga saham AMD saat ini diperdagangkan di 68,5x forward earnings level premium yang memaksa investor jangka pendek berpikir dua kali. Dengan valuasi setinggi itu, saham AMD sudah mem-price-in banyak optimisme. Artinya, kabar negatif sekecil apa pun (misalnya potensi Meta memakai Google TPU) langsung memicu koreksi.
Buy, Sell, atau Hold?
Keputusan akhirnya kembali ke profil risiko investor.
🟢 BUY – jika Kamu investor jangka panjang, Karena:
- roadmap AI sangat agresif,
- AMD semakin diterima cloud hyperscaler,
- Proyeksi pendapatan dan margin sangat bullish.
🟡 HOLD – jika Kamu sudah memegang sahamnya, Karena:
- koreksi ini mungkin hanya konsolidasi,
- fundamental tetap kuat.
🔴 SELL – jika Kamu trader jangka pendek, Karena:
- valuasi tinggi,
- volatilitas bisa meningkat akibat kompetisi dari Google, Nvidia, dan chip custom hyperscaler.
AMD Sedang Ujian, Bukan Tumbang
Kekhawatiran terhadap Google TPU memang nyata. Namun sejauh ini, AMD tetap berada pada jalur yang jelas: menjadi pilar utama infrastruktur AI global. Pertanyaannya adalah bukan apakah AMD akan menang, tetapi seberapa besar pangsa yang berhasil mereka rebut di era AI yang baru dimulai ini.
Sementara itu, investor dihadapkan pada dilema klasik teknologi: bertaruh pada masa depan dengan risiko volatilitas hari ini.






