Jun 30, 2025

Nvidia Kantongi Deal $7 Miliar dari Arab Saudi, Ekspor AI Chip Kembali Dibuka

Default Featured Image

Di tengah ketegangan geopolitik dan ketidakpastian regulasi, Nvidia (NASDAQ: NVDA) kembali mencuri perhatian pasar dengan cara yang spektakuler: kesepakatan miliaran dolar dengan Arab Saudi dan kabar pelunakan kebijakan pembatasan ekspor AI chip era Biden

Harga sahamnya langsung terbang lebih dari 4% pada Rabu (14/5), menggenapi reli 15% dalam lima hari terakhir dan mengembalikan performa tahunannya ke zona hijau.

Namun, di balik lonjakan angka ini, ada narasi yang jauh lebih besar: kebangkitan kembali Nvidia sebagai simbol kekuatan teknologi Amerika di kancah global dan bagaimana kebijakan luar negeri bisa mengubah peta dominasi AI hanya dalam hitungan minggu.

Arab Saudi dan Ambisi AI Dari Minyak ke Mikroprosesor

Dalam forum investasi yang dihadiri Presiden Trump di Riyadh, Nvidia mengumumkan penjualan ratusan ribu AI chip ke proyek AI nasional Arab Saudi, “Humain,” yang dimiliki oleh Public Investment Fund (PIF) senilai $925 miliar dan diketuai langsung oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Kesepakatan awal mencakup penjualan superkomputer Grace Blackwell yang menggunakan 18.000 chip GB300, sebagai bagian dari pengiriman chip selama lima tahun ke depan. Menurut Bank of America, nilai keseluruhan kontrak ini mencapai $7 miliar, mendorong mereka menaikkan target harga saham Nvidia dari $150 menjadi $160.

Humain sendiri bukan proyek sembarangan. Diluncurkan hanya sehari sebelum kunjungan Trump, inisiatif ini mencerminkan upaya besar Saudi untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil dan bertransformasi menjadi hub AI regional dan global.

Para Sekutu Bergabung AMD, Qualcomm, dan Super Micro

Nvidia tidak sendirian dalam momen kebangkitan ini. Advanced Micro Devices (AMD) juga meneken kesepakatan senilai $10 miliar dengan Humain, sementara Qualcomm mengumumkan kemitraan jangka panjang untuk memasok chip guna mendukung pembangunan pusat data AI kelas dunia di Timur Tengah.

Tak kalah mengejutkan, Super Micro Computer (SMCI) perusahaan server yang terkenal menggunakan desain dan chip AI dari Nvidia mengumumkan kontrak senilai $20 miliar dengan DataVolt, perusahaan data center Saudi. Harga saham SMCI langsung melonjak hampir 32% dalam dua hari.

Washington Longgarkan Aturan Era Baru Ekspor Teknologi?

Di tengah euforia korporat, Gedung Putih juga melemparkan sinyal positif. Departemen Perdagangan AS resmi memulai proses pencabutan “AI Diffusion Rule” era Biden, aturan yang sebelumnya melarang ekspor chip AI (terutama buatan Nvidia) ke negara-negara tertentu karena alasan keamanan nasional.

Langkah ini menandai pergeseran besar. Setelah sempat memblokir ekspor ke China, kini pemerintahan Trump tampaknya lebih pragmatis: menjaga keunggulan teknologi Amerika lewat dominasi pasar, bukan sekadar kontrol distribusi.

Namun, ancaman tetap ada. Laporan menyebut bahwa Huawei, raksasa teknologi China, mengembangkan chip Ascend generasi baru yang diklaim mampu menyaingi chip “Hopper” buatan Nvidia.

Meski chip ini tak dibuat dengan teknologi AS, Departemen Perdagangan tetap memperingatkan bahwa penggunaannya bisa dianggap melanggar kontrol ekspor sebuah sinyal keras ke arah Beijing.

Perspektif Investor Antara Euforia dan Kewaspadaan

Bagi investor, pengumuman ini menjadi penghapus sementara kekhawatiran akan “capex peak” yaitu titik jenuh belanja infrastruktur AI oleh korporasi besar. Stacy Rasgon dari Bernstein menyebut Saudi kini menjadi pembeli besar baru dengan kantong dalam dan visi strategis jangka panjang.

Namun, ia juga memperingatkan: “Masih harus dilihat seberapa besar janji ini benar-benar terealisasi. Tapi untuk saat ini, hal ini menjadi penyangga psikologis penting bagi pasar yang takut bubble AI segera pecah.”

Nvidia, AI, dan Arah Baru Dominasi Teknologi

Apa yang dilakukan Nvidia minggu ini bukan sekadar menjual chip. Ini adalah permainan geopolitik dan bisnis dalam skala penuh. Dengan pasar Tiongkok yang dibatasi dan Eropa yang belum sepenuhnya bergerak, kawasan Teluk dengan dana melimpah dan keinginan kuat untuk diversifikasi ekonomi muncul sebagai medan baru pertarungan dominasi AI global.

Trump, meskipun kontroversial, menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri bisa memuluskan jalan ekspansi teknologi. Bagi Nvidia, ini lebih dari sekadar rebound saham ini bisa menjadi babak awal dari penguatan supremasi AI Amerika di era baru yang semakin multipolar.

Nvidia Kantongi Deal $7 Miliar dari Arab Saudi, Ekspor AI Chip Kembali Dibuka
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan