Palantir Technologies (NASDAQ: PLTR) berhasil mencuri perhatian pasar saham global setelah mencatat lonjakan 340% sepanjang 2024, menjadikannya saham dengan performa terbaik di indeks S&P 500.
Masuknya Palantir ke dalam S&P 500 pada September tahun lalu tampaknya hanya menambah euforianya. Namun, seperti biasa dalam dunia investasi: saat semua orang mulai membicarakan satu saham itulah saatnya Anda mulai mencari yang lain.
Dengan valuasi yang makin tinggi dan momentum yang mungkin mulai melemah, 2025 bisa jadi bukan tahunnya Palantir. Justru kini saat yang tepat untuk melirik tiga saham berbasis kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi lebih stabil, tumbuh lebih sehat, dan dalam banyak hal lebih menguntungkan secara jangka panjang.
1. Alphabet (GOOG, GOOGL): Raja Data, Raksasa AI yang Masih Dianggap Murah
Meski hanya naik 36% tahun lalu, Alphabet tetap menjadi kandidat yang sangat menarik untuk 2025. Mengapa? Karena valuasinya masuk akal. Dengan price-to-earnings (P/E) ratio ke depan hanya 21, Google berada jauh di bawah Palantir yang kini diperdagangkan di P/E hampir 159 kali.
Lebih dari itu, Google Cloud semakin diuntungkan dari lonjakan permintaan layanan cloud berbasis AI. Penggunaan AI agent, platform machine learning, dan integrasi model generatif semakin mengakar dalam operasional perusahaan global, dan Alphabet berdiri di pusat revolusi itu.
Jangan lupakan juga Waymo, unit mobil otonom milik Alphabet, yang berencana memperluas jangkauan ke Atlanta dan Austin, bekerja sama dengan Uber. Meskipun kontribusi pendapatannya belum besar di 2025, potensi masa depan Waymo bisa menjadi sumber pertumbuhan yang signifikan.
2. Nvidia (NVDA): Masih Mesin Utama Revolusi AI Dunia
Nvidia mungkin tak perlu diperkenalkan lagi. Sahamnya melonjak 171% di 2024, menjadikannya saham nomor tiga terbaik di S&P 500, hanya dua posisi di bawah Palantir. Namun berbeda dengan Palantir, lonjakan ini bukan sekadar spekulasi. Ini adalah hasil dari permintaan masif terhadap GPU dan prospek pertumbuhannya belum habis.
Peluncuran chip Blackwell telah menciptakan gelombang antusiasme luar biasa. CEO Jensen Huang menyebut permintaannya sebagai “insane,” dan CFO Colette Kress menyebutnya “staggering.”
Lebih dari sekadar produk, Nvidia kini menerapkan siklus peluncuran tahunan. Artinya, kita bisa menantikan penerus Blackwell pada akhir 2025, dan itu bisa menjadi katalis pertumbuhan berikutnya.
Dengan P/E ratio sekitar 31, valuasi Nvidia masih relatif masuk akal jika dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan dan posisinya sebagai fondasi infrastruktur AI dunia.
3. Advanced Micro Devices (AMD): Saham Undervalued dengan Potensi Rebound
Tahun 2024 adalah tahun yang pahit bagi AMD, dengan saham turun 18%. Namun seperti pepatah klasik: “Buy low, sell high.” Dan AMD kini berada di titik harga rendah dengan fundamental yang kuat.
Perusahaan mencatat pendapatan rekor di Q3 dan memproyeksikan rekor baru di Q4. Sementara AMD tak akan menggeser posisi Nvidia dalam waktu dekat, pertumbuhan data center berbasis AI tetap menjadi dorongan utama permintaan chip mereka.
Yang menarik adalah valuasinya. Menurut LSEG, AMD memiliki PEG ratio hanya 0,31, menjadikannya salah satu saham AI paling murah bila dilihat dari potensi pertumbuhan lima tahun ke depan.
Dalam istilah sederhana: Kamu membayar lebih sedikit untuk pertumbuhan yang bisa jadi sangat besar.
Jangan Terlena oleh Kilau Palantir
Investasi yang cerdas tak selalu mengikuti hype. Palantir memang menarik dengan pertumbuhan harga saham yang fenomenal, tetapi dengan valuasi setinggi langit dan ekspektasi yang makin berat, risiko koreksi semakin besar.
Sementara itu, Alphabet, Nvidia, dan AMD menawarkan keseimbangan antara potensi pertumbuhan dan valuasi yang lebih masuk akal sebuah kombinasi langka di era AI saat ini.
Untuk investor yang mencari peluang jangka menengah hingga panjang, tiga saham ini layak masuk dalam radar jika bukan portofolio Anda langsung.