Jun 30, 2025

Alphabet, Nvidia, dan AMD: Rekomendasi Saham AI Terbaik 2025

Default Featured Image

Palantir Technologies (NASDAQ: PLTR) berhasil mencuri perhatian pasar saham global setelah mencatat lonjakan 340% sepanjang 2024, menjadikannya saham dengan performa terbaik di indeks S&P 500.

Masuknya Palantir ke dalam S&P 500 pada September tahun lalu tampaknya hanya menambah euforianya. Namun, seperti biasa dalam dunia investasi: saat semua orang mulai membicarakan satu saham itulah saatnya Anda mulai mencari yang lain.

Dengan valuasi yang makin tinggi dan momentum yang mungkin mulai melemah, 2025 bisa jadi bukan tahunnya Palantir. Justru kini saat yang tepat untuk melirik tiga saham berbasis kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi lebih stabil, tumbuh lebih sehat, dan dalam banyak hal lebih menguntungkan secara jangka panjang.

1. Alphabet (GOOG, GOOGL): Raja Data, Raksasa AI yang Masih Dianggap Murah

Meski hanya naik 36% tahun lalu, Alphabet tetap menjadi kandidat yang sangat menarik untuk 2025. Mengapa? Karena valuasinya masuk akal. Dengan price-to-earnings (P/E) ratio ke depan hanya 21, Google berada jauh di bawah Palantir yang kini diperdagangkan di P/E hampir 159 kali.

Lebih dari itu, Google Cloud semakin diuntungkan dari lonjakan permintaan layanan cloud berbasis AI. Penggunaan AI agent, platform machine learning, dan integrasi model generatif semakin mengakar dalam operasional perusahaan global, dan Alphabet berdiri di pusat revolusi itu.

Jangan lupakan juga Waymo, unit mobil otonom milik Alphabet, yang berencana memperluas jangkauan ke Atlanta dan Austin, bekerja sama dengan Uber. Meskipun kontribusi pendapatannya belum besar di 2025, potensi masa depan Waymo bisa menjadi sumber pertumbuhan yang signifikan.

2. Nvidia (NVDA): Masih Mesin Utama Revolusi AI Dunia

Nvidia mungkin tak perlu diperkenalkan lagi. Sahamnya melonjak 171% di 2024, menjadikannya saham nomor tiga terbaik di S&P 500, hanya dua posisi di bawah Palantir. Namun berbeda dengan Palantir, lonjakan ini bukan sekadar spekulasi. Ini adalah hasil dari permintaan masif terhadap GPU dan prospek pertumbuhannya belum habis.

Peluncuran chip Blackwell telah menciptakan gelombang antusiasme luar biasa. CEO Jensen Huang menyebut permintaannya sebagai “insane,” dan CFO Colette Kress menyebutnya “staggering.”

Lebih dari sekadar produk, Nvidia kini menerapkan siklus peluncuran tahunan. Artinya, kita bisa menantikan penerus Blackwell pada akhir 2025, dan itu bisa menjadi katalis pertumbuhan berikutnya.

Dengan P/E ratio sekitar 31, valuasi Nvidia masih relatif masuk akal jika dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan dan posisinya sebagai fondasi infrastruktur AI dunia.

3. Advanced Micro Devices (AMD): Saham Undervalued dengan Potensi Rebound

Tahun 2024 adalah tahun yang pahit bagi AMD, dengan saham turun 18%. Namun seperti pepatah klasik: “Buy low, sell high.” Dan AMD kini berada di titik harga rendah dengan fundamental yang kuat.

Perusahaan mencatat pendapatan rekor di Q3 dan memproyeksikan rekor baru di Q4. Sementara AMD tak akan menggeser posisi Nvidia dalam waktu dekat, pertumbuhan data center berbasis AI tetap menjadi dorongan utama permintaan chip mereka.

Yang menarik adalah valuasinya. Menurut LSEG, AMD memiliki PEG ratio hanya 0,31, menjadikannya salah satu saham AI paling murah bila dilihat dari potensi pertumbuhan lima tahun ke depan.

Dalam istilah sederhana: Kamu membayar lebih sedikit untuk pertumbuhan yang bisa jadi sangat besar.

Jangan Terlena oleh Kilau Palantir

Investasi yang cerdas tak selalu mengikuti hype. Palantir memang menarik dengan pertumbuhan harga saham yang fenomenal, tetapi dengan valuasi setinggi langit dan ekspektasi yang makin berat, risiko koreksi semakin besar.

Sementara itu, Alphabet, Nvidia, dan AMD menawarkan keseimbangan antara potensi pertumbuhan dan valuasi yang lebih masuk akal sebuah kombinasi langka di era AI saat ini.

Untuk investor yang mencari peluang jangka menengah hingga panjang, tiga saham ini layak masuk dalam radar jika bukan portofolio Anda langsung.

Alphabet, Nvidia, dan AMD: Rekomendasi Saham AI Terbaik 2025
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan