Di tengah industri kendaraan listrik Amerika Serikat yang sedang mengalami perlambatan dan pengetatan strategi, CEO Rivian RJ Scaringe justru menyampaikan pesan yang berlawanan arah. Dalam ajang Autonomy and AI Day pada 11 Desember, Scaringe memaparkan visi besar Rivian mengenai masa depan mobil listrik, yang menurutnya tidak lagi ditentukan semata oleh baterai atau desain kendaraan, melainkan oleh kecerdasan buatan, data, dan kemampuan komputasi internal. Di saat banyak produsen EV menahan investasi atau bahkan mundur dari elektrifikasi penuh, Rivian memilih memperdalam taruhannya.
Rivian memperkenalkan Autonomy Platform terbarunya sebagai fondasi teknologi jangka panjang. Langkah ini berangkat dari evaluasi internal setelah peluncuran kendaraan generasi pertama pada akhir 2021. Pada awal 2022, manajemen menyimpulkan bahwa sistem lama tidak cukup kuat untuk menopang ambisi self-driving tingkat lanjut. Rivian kemudian membangun ulang arsitektur otonomi dari nol, mencakup kamera, radar, komputasi, hingga pendekatan AI yang sepenuhnya berpusat pada neural network. Hasilnya mulai terlihat pada kendaraan generasi kedua yang diluncurkan pertengahan 2024, dengan peningkatan kapasitas komputasi hingga sepuluh kali lipat dibanding generasi sebelumnya.
Sistem ini ditopang oleh 55 megapiksel kamera dan rangkaian radar yang dirancang untuk mengumpulkan data dalam skala besar. Data tersebut menjadi bahan bakar utama bagi model AI Rivian untuk terus belajar dari kondisi dunia nyata. Menurut Scaringe, proses ini bukan sekadar meningkatkan fitur bantuan pengemudi, tetapi membangun aliran data berkelanjutan yang memungkinkan sistem semakin matang seiring waktu. Inilah yang ia sebut sebagai fondasi menuju otonomi penuh.
Langkah paling ambisius Rivian justru hadir pada platform generasi ketiga, yang akan menggunakan chip AI hasil rancangan internal perusahaan. Chip ini diklaim mampu memproses hingga lima miliar piksel per detik, jauh melampaui kemampuan komputasi kendaraan otonom kelas atas saat ini. Walaupun Rivian tetap menggandeng TSMC untuk proses manufaktur, desain chip sepenuhnya berada di tangan internal. Scaringe menegaskan bahwa keputusan ini diambil demi kontrol penuh atas arah teknologi perusahaan, meski membutuhkan investasi ratusan juta dolar dan tim teknis dalam jumlah besar.
Pendekatan ini menempatkan Rivian pada jalur yang sejajar dengan Tesla, yang juga memilih integrasi vertikal ekstrem dengan mengembangkan chip, perangkat lunak, dan pusat data sendiri. Namun, Rivian mengambil pendekatan berbeda dalam hal sensor. Jika Tesla mengandalkan visi kamera semata, Rivian tetap mempertahankan kombinasi kamera, radar, dan lidar. Menurut Scaringe, keragaman sensor ini memungkinkan setiap kendaraan Rivian berfungsi sebagai “ground truth” di jalan raya, sehingga data yang dikumpulkan lebih kaya dan lebih cepat memvalidasi keputusan AI.
Dalam hal roadmap, Rivian tidak menjanjikan loncatan instan. Saat ini perusahaan menawarkan fitur Universal Hands-Free yang serupa dengan Super Cruise milik General Motors. Pada 2026, Rivian menargetkan kemampuan point-to-point driving, di mana kendaraan dapat mengemudi dari satu lokasi ke lokasi lain secara hands-free namun tetap diawasi pengemudi. Tahap berikutnya adalah eyes-off driving, sebelum akhirnya mencapai apa yang mereka sebut sebagai personal Level 4, yaitu kendaraan yang dapat beroperasi sepenuhnya tanpa manusia di dalamnya.
Di luar teknologi, Scaringe juga menyoroti kondisi industri EV Amerika yang menurutnya tidak sehat. Berakhirnya insentif pajak dan mundurnya banyak produsen justru menciptakan pasar dengan pilihan terbatas. Tesla kini menguasai sekitar separuh pasar EV AS, terutama di segmen kendaraan di bawah USD 50.000. Bagi Scaringe, dominasi ini bukan tanda kekuatan industri, melainkan bukti bahwa konsumen kekurangan alternatif. Jika adopsi EV ingin meningkat dari sekitar 8% menuju 25% atau lebih, pasar membutuhkan lebih dari satu pemain kuat.
Rivian melihat model R2 sebagai jawaban atas kekosongan tersebut. Dengan harga yang lebih terjangkau dan teknologi yang diposisikan setara kelas atas, Rivian berharap dapat memperluas basis konsumen sekaligus menantang status quo. Bagi investor, strategi ini tetap mengandung risiko besar. Rivian memang telah mencatat keuntungan kotor, namun laba bersih masih belum tercapai. Suntikan dana hampir USD 6 miliar dari Volkswagen memberi ruang bernapas, tetapi keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada eksekusi teknologi otonomi dan efisiensi biaya.
Pada akhirnya, pesan Rivian jelas. Perusahaan ini tidak sedang mengejar sensasi jangka pendek atau sekadar bertahan hidup. Rivian bertaruh bahwa masa depan otomotif akan dimenangkan oleh mereka yang menguasai AI, data, dan chip mereka sendiri. Pertanyaannya kini bukan hanya apakah Rivian mampu mengejar Tesla, tetapi apakah industri kendaraan listrik global siap menyambut lebih dari satu pemimpin teknologi di era mobil otonom.





