Musim laporan keuangan kuartal II 2025 mulai memasuki tahap akhir, dan sorotan kini tertuju pada dua raksasa ritel Amerika Serikat: Walmart (WMT) dan Target (TGT). Keduanya mewakili arah yang kontras di sektor retail Walmart yang terus menunjukkan daya tahan kuat, sementara Target masih berjuang menghadapi tekanan pasca-COVID.
Walmart: Stabil, Tangguh, dan Didukung Produk Pokok
Walmart kembali menunjukkan keunggulan dalam beberapa tahun terakhir berkat kombinasi produk kebutuhan pokok dan strategi digital yang agresif. Dalam laporan kuartal terbarunya, penjualan eCommerce global tumbuh 22% YoY, memperkuat posisi perusahaan sebagai pemimpin di era belanja online.
Selain itu, penjualan toko sebanding di AS (ex-fuel) naik 4,5%, melampaui ekspektasi pasar. Untuk kuartal mendatang, konsensus analis menargetkan kenaikan 4,2%, menandakan momentum masih terjaga.
Bahkan, Walmart telah mencatat enam kuartal berturut-turut berhasil mengalahkan perkiraan di metrik penting ini.
Dari sisi kinerja keuangan, laba per saham (EPS) Walmart diproyeksi tumbuh 9%, dengan penjualan naik 3,7%. Meski revisi analis relatif minim, stabilitas tren dianggap sebagai sinyal positif bagi investor yang mencari kepastian di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif.
Target: Tertahan Barang Diskresioner, Harapan Ada di Digital
Berbeda dengan Walmart, Target masih menghadapi tantangan berat. Penjualan toko sebanding turun 3,8% YoY, sementara penjualan total melemah 2,8% di kuartal sebelumnya.
Konsensus pasar memperkirakan penurunan lanjutan sebesar -2,9% YoY, mencerminkan tren negatif yang berlanjut enam periode terakhir.
Kendati begitu, sisi digital menjadi titik terang. Penjualan digital sebanding naik 4,7% YoY, dengan pengiriman di hari yang sama melalui Target Circle 360 melonjak 36%.
Angka ini menunjukkan bahwa meski toko fisik melemah, strategi omnichannel masih menyimpan peluang pertumbuhan.
Namun, masalah utama tetap sama: proporsi besar barang diskresioner (non-pokok) dalam inventori, yang membuat Target rentan terhadap perubahan pola belanja konsumen.
Berbeda dengan Walmart yang mendapat keuntungan dari produk kebutuhan sehari-hari, Target kesulitan menjaga permintaan di tengah pelemahan daya beli.
Saham Target kini sudah jatuh lebih dari 50% dari level puncak tahun 2021, membuat investor bertanya-tanya: apakah titik terendah sudah tercapai? Guidance manajemen di kuartal ini akan menjadi penentu utama arah harga saham ke depan.
Implikasi untuk Pasar dan Investor
Perbedaan kinerja Walmart dan Target menggambarkan transformasi besar di sektor retail pasca-pandemi. Konsumen kini lebih berhati-hati, memprioritaskan kebutuhan pokok dibanding barang konsumtif, sehingga ritel dengan portofolio staple lebih terlindungi.
Investor akan mencermati tidak hanya angka EPS dan penjualan, tetapi juga arah kebijakan perusahaan ke depan, terutama terkait:
- Inovasi digital dan eCommerce untuk menjaga pertumbuhan,
- Manajemen inventori barang diskresioner,
- Panduan keuangan (guidance) yang akan menentukan arah saham dalam beberapa kuartal mendatang.
Dengan Walmart yang terus konsisten dan Target yang masih mencari momentum pemulihan, jurang kinerja antara dua raksasa ritel ini bisa saja semakin lebar kecuali Target mampu memberi sinyal turnaround yang meyakinkan.