Jun 30, 2025

Intel Lampaui Estimasi Q1, Saham Turun Usai Proyeksi Q2 Meleset

Default Featured Image

Raksasa chip global Intel Corp. (NASDAQ: INTC) berhasil melampaui ekspektasi Analis untuk kuartal pertama 2025. 

Namun, proyeksi pendapatan yang lebih rendah dari perkiraan untuk kuartal kedua memicu aksi jual investor, menyebabkan saham perusahaan anjlok lebih dari 6% dalam perdagangan afterhours.

Dalam laporan keuangan yang dirilis Kamis malam waktu AS, Intel mencatat laba per saham (EPS) yang disesuaikan sebesar $0.13 dari pendapatan sebesar $12.7 miliar, melampaui ekspektasi analis yang memproyeksikan hanya $0.01 EPS dan $12.3 miliar pendapatan, menurut konsensus Bloomberg.

Namun, Intel memperkirakan pendapatan kuartal kedua hanya akan berkisar antara $11.2 miliar hingga $12.4 miliar, jauh di bawah ekspektasi Wall Street yang berada di angka $12.8 miliar.

> “Lingkungan makro saat ini menciptakan ketidakpastian tinggi di seluruh industri. Kami menerapkan pendekatan disiplin dan hati-hati untuk tetap berinvestasi di produk inti dan bisnis foundry kami, sambil memaksimalkan efisiensi biaya dan modal,” ujar CFO Intel, David Zinsner, dalam pernyataan resminya.

Segmen AI dan Data Center Catat Lonjakan

Dalam laporan tersebut, pendapatan dari segmen client computing mencapai $7.6 miliar, mengalahkan ekspektasi sebesar $6.9 miliar.

Sementara itu, pendapatan dari unit data center dan AI melonjak ke $4.1 miliar, jauh di atas proyeksi $2.9 miliar.

Pendapatan dari unit Intel Foundry juga sedikit melampaui ekspektasi, mencapai $4.6 miliar dibanding perkiraan $4.3 miliar.

Namun demikian, angka-angka positif ini belum cukup menahan tekanan market terhadap Intel, terutama setelah sahamnya telah anjlok 38% selama 12 bulan terakhir.

Dampak Perang Dagang dan Tantangan CEO Baru

Laporan ini merupakan yang pertama sejak Lip-Bu Tan resmi menjabat sebagai CEO bulan lalu. Di bawah kepemimpinannya, Intel menghadapi tantangan besar, termasuk potensi dampak dari perang dagang AS–China yang kembali memanas. 

Meskipun sebagian besar chip Intel diproduksi di AS, produk seperti laptop yang dirakit di Tiongkok tetap rentan terhadap tarif baru yang telah disinyalkan oleh pemerintahan Trump.

Dalam penampilan publik perdananya di acara Intel Vision 2025, Tan mengakui bahwa Intel selama ini “tertinggal dalam inovasi” dan berjanji akan memperbaiki arah perusahaan.

> “Kita terlalu lambat beradaptasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Kalian layak mendapat yang lebih baik, dan kami akan memperbaikinya,” ujar Tan dalam pidatonya.

Wall Street kini menanti kepastian strategi Tan, terutama terkait masa depan unit third-party foundry milik Intel. Beberapa Analis bahkan menyarankan agar perusahaan keluar dari bisnis manufaktur chip dan menyerah pada ambisi menjadi pesaing TSMC.

Menariknya, laporan dari The Information awal bulan ini mengungkap bahwa Intel, dan TSMC telah mencapai kesepakatan awal untuk membentuk joint venture yang akan mengoperasikan fasilitas fabrikasi chip milik Intel — sinyal besar arah restrukturisasi Intel ke depan.

Intel Lampaui Estimasi Q1, Saham Turun Usai Proyeksi Q2 Meleset
by Ajeng Sri


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan