Jun 30, 2025

Boeing Bangkit Berkat Trump Deal $96 Miliar dengan Qatar Pecahkan Rekor

Default Featured Image

Dalam belantara industri dirgantara global yang kerap diguncang turbulensi geopolitik dan krisis produksi, Boeing (NYSE: BA) tampaknya telah menemukan kembali ketinggiannya dan bukan sekadar cruising altitude, tapi seperti jet supersonik yang menembus awan penuh badai.

Setelah sempat tenggelam dalam krisis reputasi sepanjang 2024 mulai dari insiden door plug Alaska Airlines yang memicu penyelidikan besar-besaran, hingga kesulitan produksi dan kekacauan di pucuk pimpinan Boeing kini kembali menjadi bintang di Wall Street.

Sahamnya melonjak lebih dari 50% sejak titik nadir di April, bertepatan dengan kembalinya Donald J. Trump ke panggung dunia melalui kebijakan “Liberation Day Tariffs”, yang meskipun kontroversial, justru memicu gelombang deal internasional yang menguntungkan perusahaan Amerika, termasuk Boeing.

Dan, puncaknya? Sebuah mega-deal senilai $96 miliar dengan Qatar Airways yang diumumkan langsung saat kunjungan Trump ke Timur Tengah pekan ini. Kesepakatan ini bukan hanya terbesar dalam sejarah Boeing, tapi juga menjadi simbol bagaimana geopolitik dan diplomasi bisnis bisa saling menopang selama pesawatnya datang tepat waktu dan tak lagi copot saat mengudara.

Diplomasi Jet Antara Boeing, Qatar, dan Gedung Putih

Kesepakatan ini mencakup pembelian hingga 210 pesawat Boeing 787 Dreamliner dan 777X, yang semuanya menggunakan mesin dari GE Aerospace. Tak hanya memperkuat hubungan ekonomi antara AS dan Qatar, perjanjian ini juga digadang-gadang akan menopang sekitar 154.000 lapangan kerja tahunan di AS angka yang, jika dihitung selama proses produksi dan pengiriman, akan menghasilkan lebih dari satu juta pekerjaan.

Sementara Gedung Putih menyebutnya sebagai “sejarah yang mendefinisikan era baru kemitraan industri global,” para analis di Fundstrat menyindir bahwa deal ini adalah hasil dari “Trump yang berkampanye untuk Boeing di luar negeri.”

Pernyataan ini mungkin terdengar sinis, tapi tak bisa disangkal bahwa efeknya nyata di neraca keuangan.

Tambahan bumbu politik pun hadir lewat isu jet pribadi: Qatar diketahui menawarkan Boeing 747 kepada Trump sebagai pesawat interim Air Force One sebuah hadiah diplomatik yang sempat menuai kontroversi, namun dibela langsung oleh sang presiden dengan nada khasnya: “Hanya orang bodoh yang menolaknya atas nama negara.”

Bukan Hanya Qatar Boeing Masuk Radar Arab Saudi & China

Tak hanya Qatar. AviLease, perusahaan penyewaan pesawat global asal Arab Saudi, juga mengumumkan pembelian hingga 30 pesawat dari Boeing. Artinya, perusahaan ini sukses mengamankan order dari dua ekonomi terbesar di Teluk dalam waktu kurang dari seminggu.

Tak berhenti di sana. Pada hari yang sama, China mencabut larangan pengiriman pesawat Boeing setelah negosiasi dagang AS-Tiongkok di Swiss menghasilkan semacam gencatan senjata tarif.

Langkah ini membuka kembali salah satu pasar terbesar Boeing setelah sempat ditutup akibat pengumuman tarif 145% oleh Trump terhadap barang impor dari Tiongkok bulan April lalu.

Namun ancaman lain datang dari seberang Atlantik. Uni Eropa kini mempertimbangkan tarif terhadap pesawat Boeing dan mobil buatan AS, jika perundingan dagang dengan pemerintahan Trump tidak membuahkan hasil.

Artinya, meskipun pesawat Boeing sedang laris manis, langit belum sepenuhnya cerah.

Dari Bangkai ke Bintang Boeing dalam Sorotan Investor

Pasar saham tentu merespons. Saham Boeing telah naik hampir 20% sepanjang 2025, sebuah pencapaian signifikan mengingat pada 2024 sahamnya anjlok lebih dari 30%. Menurut Peter McNally dari Bridge, “Permintaan tetap kuat.

Masalah jangka pendek tak mengubah tren naik yang lebih besar.”

Lebih dari sekadar perbaikan keuangan, narasi kebangkitan Boeing mencerminkan dinamika kekuatan global bagaimana perusahaan bisa menjadi alat diplomasi, simbol nasionalisme ekonomi, bahkan alat tawar-menawar dalam negosiasi dagang tingkat tinggi.

Boeing dan Realitas Ekonomi Politik Global

Boeing bukan sekadar produsen pesawat. Dalam lanskap ekonomi politik modern, ia adalah entitas strategis penentu arah kerja sama dagang, simbol kedaulatan manufaktur Amerika, dan kini, pion penting dalam permainan catur geopolitik Donald Trump.

Pertanyaannya bukan hanya apakah Boeing akan pulih penuh, tetapi juga: apakah kita sedang melihat cetak biru baru tentang bagaimana korporasi multinasional akan bertahan di dunia yang makin dikendalikan oleh perjanjian politik dan bukan sekadar hukum pasar?

Dan jika iya, maka Boeing bukan hanya terbang lagi ia sedang mengudara dengan kecepatan Mach tinggi, dengan Washington di kokpitnya.

Boeing Bangkit Berkat Trump Deal $96 Miliar dengan Qatar Pecahkan Rekor
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan