Dalam sebuah sinyal yang tak bisa diabaikan oleh investor global, Exxon Mobil raksasa energi asal Amerika Serikat memberikan peringatan bahwa laba mereka untuk kuartal kedua tahun ini kemungkinan akan merosot hingga $1,5 miliar dibandingkan kuartal sebelumnya.
Penyebabnya? Penurunan tajam harga minyak dan gas alam global, dua komoditas vital yang menjadi tulang punggung pendapatan Exxon.
Sinyal ini diumumkan lewat pengajuan dokumen regulasi pada Senin, dan mengindikasikan tekanan berat yang juga kemungkinan akan dialami oleh perusahaan-perusahaan migas besar lainnya ketika laporan keuangan kuartal kedua mulai dirilis beberapa minggu ke depan.
Harga Minyak Jatuh, Tekanan Menguat
Selama periode April hingga Juni 2025, harga rata-rata minyak mentah Brent acuan global untuk harga minyak tercatat di level $66,71 per barel, turun 11% dari kuartal sebelumnya.
Penurunan ini terjadi di tengah peningkatan pasokan dari aliansi produsen minyak OPEC+, yang kian membuat pasar kebanjiran suplai dan memperlemah harga.
Tak hanya minyak, harga gas alam di AS juga turun 9%, memperparah tekanan terhadap pendapatan sektor hulu Exxon, yang sangat tergantung pada kedua komoditas tersebut.
“Pasar kini mulai memperhitungkan kembali keseimbangan antara pasokan dan permintaan energi global. Dalam konteks geopolitik dan transisi energi saat ini, fluktuasi tajam harga seperti ini bisa menjadi sinyal ketidakstabilan jangka menengah,” ujar Analis Energi dari JP Morgan dalam sebuah wawancara dengan CNBC.
Antisipasi Laporan Keuangan 1 Agustus
Exxon dijadwalkan untuk merilis laporan keuangan resmi kuartal II pada 1 Agustus 2025. Namun, para pelaku pasar sudah mulai melakukan penyesuaian ekspektasi. Berdasarkan estimasi yang dikompilasi oleh LSEG, Wall Street memperkirakan laba per saham (EPS) Exxon akan turun ke angka $1,53, jauh di bawah pencapaian kuartal sebelumnya.
Sebagai perbandingan, pada kuartal I 2025, Exxon mencatatkan laba sebesar $6,8 miliar dari sektor hulu, dengan total laba mencapai $7,71 miliar. Maka, penurunan sebesar $1,5 miliar akan menjadi pukulan nyata terhadap momentum pertumbuhan perusahaan yang selama ini masih kokoh di tengah tren transisi energi.
Imbas Terhadap Industri Energi
Laporan pendapatan Exxon kerap dijadikan indikator awal untuk mengukur kesehatan industri minyak dan gas secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelemahan yang diproyeksikan ini bisa menjadi sinyal awal bahwa profitabilitas sektor energi sedang menuju fase koreksi.
Hal ini dapat berdampak pada harga saham perusahaan migas global lainnya seperti Chevron, Shell, hingga TotalEnergies.
Lebih jauh lagi, ini juga bisa memicu volatilitas di pasar energi global terutama bila direspons oleh langkah kebijakan baru dari OPEC+ atau intervensi pasar dari negara konsumen utama seperti Tiongkok dan India.
Transisi Energi dan Tekanan ESG
Perlu dicatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Exxon juga tengah berada dalam sorotan seiring meningkatnya tekanan dari para pemegang saham dan regulator untuk mempercepat transisi ke energi bersih.
Penurunan harga minyak dan gas, dalam konteks ini, bisa menjadi momentum yang memaksa Exxon mempercepat strategi diversifikasi energi meski konsekuensinya adalah tantangan operasional dan investasi jangka panjang.
“Pasar tidak lagi hanya menilai performa Exxon dari pendapatan minyak dan gas, tetapi juga dari bagaimana perusahaan ini memosisikan diri dalam dunia yang semakin mendesak bertransisi menuju energi rendah karbon,” tulis laporan Moody’s bulan lalu.
Saatnya Waspada
Bagi investor, peringatan dari Exxon bukan hanya sekadar angka tetapi alarm awal bahwa ketahanan sektor energi sedang diuji. Dengan harga komoditas utama yang melemah dan tekanan geopolitik serta iklim yang kian kompleks, kuartal kedua 2025 mungkin menjadi cermin bagi realitas baru dunia energi: bahwa era keemasan profit besar dari minyak fosil mungkin telah mencapai titik jenuhnya.
Exxon Mobil masih menjadi kekuatan besar, tetapi seperti semua kekuatan besar dalam sejarah industri, mereka pun kini harus berhadapan dengan dunia yang berubah cepat.
0 comments