Jun 30, 2025

Volatilitas Bitcoin Tembus 3,6% di Tengah Ketidakpastian Ekonomi AS

Default Featured Image

Di tengah gejolak pasar yang semakin sulit diprediksi, volatilitas Bitcoin kembali mencuri perhatian. Pada 19 Maret 2025, volatilitas aset digital ini menanjak ke level 3,6%, tertinggi sejak Agustus 2024, menurut data CoinGlass.

Angka ini bukan sekadar statistik melainkan refleksi dari ketidakpastian struktural yang mencengkeram perekonomian Amerika Serikat dan menggema hingga ke pasar global.

Bitcoin Barometer Ketidakpastian Baru

Lonjakan volatilitas ini menandai betapa Bitcoin kini bukan hanya dianggap sebagai store of value, tapi juga sebagai indikator kegelisahan pasar terhadap dinamika makroekonomi. Uldis Tearudklans, Chief Revenue Officer Paybis, menyebut bahwa pasar tengah bergulat dengan kebijakan fiskal yang semakin tidak konvensional, termasuk keberadaan entitas baru: Department of Government Efficiency sebuah inisiatif yang konon diinisiasi oleh Elon Musk.

Departemen ini mengklaim telah menghemat $115 miliar lewat pemangkasan birokrasi, penjualan aset negara, penghentian hibah, dan penyederhanaan regulasi. Tapi bagi pelaku pasar, kebijakan efisiensi ini justru memunculkan ketakutan baru: pemangkasan belanja pemerintah bisa menghambat pertumbuhan dan memperparah kontraksi likuiditas jika tidak disertai pelonggaran moneter yang memadai.

“Jika pengetatan fiskal berjalan berdampingan dengan suku bunga yang stabil atau menurun perlahan, hasil akhirnya bisa berupa policy mismatch,” ujar Tearudklans. “Itu bisa mengaburkan efek stimulatif dari pemangkasan suku bunga.”

Trump, Bitcoin, dan Strategi Nasional Kripto

Presiden Donald Trump kembali jadi tokoh sentral dalam drama kripto global. Sejak menjabat kembali pada Januari 2025, ia menandatangani perintah eksekutif untuk membentuk Cadangan Strategis Bitcoin sebuah langkah yang disebut-sebut sebagai upaya menjadikan AS sebagai “Bitcoin superpower”.

Langkah ini sempat memicu reli harga hingga mencapai puncak $109.590 pada 20 Januari. Namun euforia itu tak bertahan lama. Hanya dalam dua bulan, harga Bitcoin terkoreksi hingga 30%, menyentuh $77.041 sebelum rebound ke kisaran $84.000.

Investor Terjebak, Pasar Menanti Kejelasan

Gelombang penurunan harga tersebut membuat banyak investor jangka pendek dalam posisi merugi, memperparah tekanan jual. Meskipun terdapat sedikit tanda-tanda pembalikan arah, pasar tetap bergerak dalam ketidakpastian tinggi.

Menurut Tearudklans, tingginya volatilitas saat ini mencerminkan pandangan pasar yang terpecah antara keyakinan akan pelonggaran moneter dan kekhawatiran akan kontraksi fiskal. “Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang kompleks,” katanya.

“Penghematan fiskal bisa menekan pertumbuhan dan memaksa The Fed bersikap lebih hati-hati atau bahkan menunda pemotongan suku bunga berikutnya.”

Di sisi lain, Federal Reserve sendiri pada 19 Maret memilih menahan suku bunga tetap, namun tetap membuka kemungkinan adanya dua kali pemangkasan suku bunga dalam tahun ini. Keputusan ini memberikan sedikit kejelasan, namun belum cukup untuk mengatasi kekacauan makro yang lebih luas.

Tarif, Tensi Global, dan Masa Depan Bitcoin

Trump mungkin ramah terhadap komunitas kripto, tapi pernyataan kerasnya soal tarif perdagangan dan eskalasi tensi geopolitik menciptakan arus balik bagi pasar. Di saat sentimen domestik mencoba mendorong Bitcoin naik, kekhawatiran eksternal menahan pergerakannya.

Volatilitas bukan sekadar gejala harga naik turun, tapi manifestasi dari tarik-menarik kebijakan fiskal, moneter, dan geopolitik yang makin tidak sinkron.

Refleksi Di Titik Mana Bitcoin Menjadi Indikator Ekonomi Global?

Volatilitas Bitcoin hari ini bukan semata akibat spekulasi teknikal, melainkan cerminan dari sesuatu yang lebih dalam: kepercayaan publik terhadap arah kebijakan ekonomi. Ketika pemerintah bicara efisiensi dan bank sentral bicara kehati-hatian, Bitcoin menjadi semacam “sensor tekanan” terhadap ketidakseimbangan kebijakan.

Dalam dunia yang makin sulit dipetakan, mungkin Bitcoin tidak hanya menjadi lindung nilai tapi juga barometer ketidakpastian ekonomi global.

Volatilitas Bitcoin Tembus 3,6% di Tengah Ketidakpastian Ekonomi AS
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan