Jun 30, 2025

UAE Resmikan Sistem Legislasi AI Pertama di Dunia, Hukum Kini Buatan Mesin

Default Featured Image

Di saat negara-negara lain masih memperdebatkan etika penggunaan kecerdasan buatan, Uni Emirat Arab (UAE) justru melompat jauh ke masa depan. Pada 14 April 2025, pemerintahnya resmi meluncurkan sistem legislasi pertama di dunia yang sepenuhnya ditopang oleh Artificial Intelligence (AI) sebuah langkah berani yang dapat mengubah wajah hukum dan pemerintahan global untuk selamanya.

Melalui proyek yang disebut sebagai “Smart Legislative System”, pemerintah UAE akan memberdayakan agen sintetis untuk menyusun, merevisi, dan mengevaluasi dampak hukum melalui analisis big data. Ini bukan simulasi atau sekadar chatbot konsultasi hukum ini adalah AI yang akan secara langsung berperan dalam proses pembuatan undang-undang.

Sheikh Mohammed “Revolusi Kualitas Legislasi Nasional”

Dalam pernyataan resminya, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri UAE sekaligus arsitek kebijakan inovatif ini, menyebut bahwa sistem ini akan membawa perubahan mendalam.

“Sistem legislasi berbasis AI akan menciptakan lompatan kualitas dalam siklus hukum nasional meningkatkan kecepatan, akurasi, dan menjadikan hukum kami sesuai dengan praktik terbaik global,” ujarnya.

Sistem ini diharapkan dapat mempercepat proses legislasi hingga 70%, memperbaiki akurasi substansi hukum, serta menjamin kesesuaian peraturan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi.

Bagaimana Sistem Ini Bekerja? AI, Peta Yuridiksi, dan Big Data

Meski belum dirinci secara teknis, struktur utama sistem ini melibatkan tiga pilar:

1. Pemetaan Hukum & Yuridiksi: Semua putusan hukum akan dipetakan dan dihubungkan dengan yurisdiksi masing-masing. AI akan mempelajari relasi ini untuk memahami dampak nyata dari tiap peraturan.
 
2. Pemantauan Efek Regulasi: Dengan akses terhadap big data, sistem akan menganalisis secara kuantitatif bagaimana sebuah peraturan memengaruhi masyarakat dan sektor tertentu dari pasar tenaga kerja hingga pelanggaran hukum.
 
3. Rekomendasi & Revisi Otomatis: Berdasarkan evaluasi berkelanjutan, AI dapat mengusulkan amandemen atau bahkan rancangan undang-undang baru yang lebih tepat guna, tanpa menunggu siklus politik yang panjang.

Peran Baru AI Dari Editor Hingga Legislator

Uniknya, sistem ini juga menciptakan jabatan-jabatan baru berbasis AI dalam birokrasi hukum, termasuk:

* AI Legislative Researcher: Menggali data historis dan studi kebijakan dari seluruh dunia.
 
* AI Legislative Editor: Mengharmonisasi bahasa hukum dan memastikan koherensi antarpasal.
 
* AI Monitor: Mengawasi implementasi regulasi dan menyajikan laporan efektivitas.

UAE tampaknya tidak hanya menambahkan teknologi ke sistem yang sudah ada, tetapi mendesain ulang dari fondasinya sesuatu yang masih dianggap terlalu radikal oleh sebagian besar negara demokratis.

Teka-Teki Besar Di Balik Ambisi, Transparansi Masih Minim

Namun, meskipun sistem ini digembar-gemborkan sebagai lompatan masa depan, pemerintah UAE belum mengungkapkan jenis model AI yang digunakan, vendor pengembangnya, atau standar etika yang diadopsi.

Ini memunculkan pertanyaan besar tentang keamanan data, potensi bias dalam penyusunan hukum, dan sejauh mana kontrol manusia tetap dijaga.

Beberapa pengamat menyuarakan kekhawatiran bahwa AI yang dilibatkan dalam hukum tanpa pengawasan publik bisa membuka celah otoritarianisme digital, terutama di negara dengan sistem politik yang lebih tersentralisasi.

Konteks Global Siapa Menyusul Selanjutnya?

Langkah UAE menjadi sorotan dunia. Dalam laporan World Economic Forum 2025, transformasi digital hukum adalah salah satu agenda utama global, namun belum ada negara lain yang berani mengambil langkah ekstrem seperti ini.

* Uni Eropa masih berkutat dengan standar etika AI di sektor publik.
 
* Amerika Serikat mendorong pilot project AI untuk memverifikasi kontrak dan hukum pajak, tapi masih dalam fase percobaan terbatas.
 
* Cina menggunakan AI untuk pengawasan yudisial, namun belum sampai pada pembuatan hukum formal.

Dengan demikian, UAE tidak hanya menjadi pionir tetapi juga eksperimen global pertama dalam menyerahkan sebagian kendali hukum kepada mesin.

Menuju Era Hukum Sintetik?

Apakah ini langkah revolusioner yang akan membawa kecepatan dan presisi ke dalam sistem hukum, atau awal dari delegasi berbahaya kepada entitas non-manusia?

Apa pun jawabannya, satu hal jelas: hukum yang dibuat mesin kini bukan fiksi ilmiah lagi. Dunia tengah memasuki fase baru, dan semua mata kini tertuju ke Teluk Persia tempat AI mulai menyusun pasal demi pasal yang akan mengatur masa depan.

UAE Resmikan Sistem Legislasi AI Pertama di Dunia, Hukum Kini Buatan Mesin
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan