Dalam langkah dramatis yang bisa mengubah lanskap perdagangan global, mantan Presiden AS Donald Trump kembali menggebrak panggung internasional dengan menetapkan standar tarif dunia sebesar 15% hingga 20%.
Pengumuman ini datang bersamaan dengan tercapainya kesepakatan awal antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta dimulainya putaran baru negosiasi antara AS dan China.
Namun, seperti biasa, setiap langkah Trump membawa serta pujian bombastis dan kritik keras dari berbagai penjuru dunia.
Kesepakatan AS-Uni Eropa: Kompromi atau Penyerahan?
Pada akhir pekan lalu, Trump dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengumumkan kesepakatan kerangka kerja dagang antara AS dan UE yang menetapkan tarif dasar sebesar 15% atas barang-barang impor dari Eropa.
Trump menyebutnya “the biggest of them all,” sementara von der Leyen menegaskan bahwa angka 15% bukan angka main-main namun itulah yang terbaik yang bisa dicapai dalam kondisi politik yang sulit.
Reaksi dari dalam Uni Eropa tidak seragam. Kanselir Jerman Friedrich Merz menilai hasil ini sebagai kompromi minimal, bukan keberhasilan. Lebih tajam lagi, Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou menyebut kesepakatan ini sebagai “hari kelam” bagi kedaulatan ekonomi Eropa.
Trump dan Mimpi Tarif Global
Pernyataan Trump di Skotlandia menegaskan arah kebijakannya ke depan: 15% hingga 20% akan menjadi standar tarif dunia. “Bukan hanya untuk Eropa, tapi untuk semua negara,” ujar Trump saat bertemu PM Inggris Keir Starmer.
Ia mengklaim bahwa kebijakan ini akan menciptakan “level playing field” bagi produk-produk AS yang selama ini, menurutnya, mengalami ketidakadilan dalam perdagangan internasional.
Langkah ini berpotensi menggantikan prinsip most-favored nation yang selama puluhan tahun menjadi fondasi perdagangan multilateral di bawah naungan WTO. Dalam konteks geopolitik, pernyataan ini bisa dibaca sebagai upaya mendorong kembali kebijakan “America First” dan sekaligus menguji batas ketahanan sistem perdagangan global saat ini.
Putaran Baru Negosiasi dengan China: Damai atau Jedah?
Bersamaan dengan berita tentang kesepakatan AS-UE, putaran negosiasi baru antara AS dan China pun dimulai. Harapan pasar cukup tinggi akan adanya perpanjangan trade truce antara dua raksasa ekonomi ini.
South China Morning Post menyebut hasil positif masih mungkin tercapai, meski tensi tetap terasa.
Trump sebelumnya menyatakan bahwa AS akan segera mengirim surat resmi ke lebih dari 200 negara mengenai tarif baru ini, seraya menegaskan kekecewaannya terhadap Kanada yang belum menunjukkan kemajuan berarti dalam negosiasi.
Ia bahkan mengancam akan memberlakukan tarif 35% terhadap produk dari Kanada yang tidak tercakup dalam perjanjian dagang USMCA.
Jepang dan Taiwan: Kepentingan Strategis dalam Balutan Investasi
Di sisi lain, hubungan dagang dengan Jepang tampak lebih hangat. Trump mempromosikan kesepakatan dengan Jepang yang mencakup investasi $550 miliar di AS dan tarif 15% atas barang-barang dari Jepang.
Menariknya, dana investasi itu disebut-sebut akan diarahkan untuk mendukung proyek ekspansi perusahaan chip asal Taiwan (TSMC) di AS.
Ryosei Akazawa, negosiator dagang Jepang, menyatakan bahwa penggunaan dana itu bisa mencakup komponen Jepang yang digunakan dalam chip Taiwan, yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan pasar Jepang.
Ini secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana tarif dan investasi digunakan sebagai alat geopolitik untuk menyeimbangkan pengaruh teknologi antara AS, Jepang, dan Taiwan.
Dampak Global: Perdagangan Bebas dalam Tekanan
Langkah Trump bukan sekadar soal angka tarif, melainkan sinyal kuat bahwa arsitektur perdagangan bebas internasional sedang memasuki fase renegosiasi besar-besaran. Negara-negara berkembang yang sangat tergantung pada akses pasar AS mungkin harus bersiap menghadapi tarif tinggi sebagai kondisi baru normal.
Dunia pun kini menatap apakah negara-negara lain akan mengikuti jejak ini atau justru memperkuat blok perdagangan alternatif.
Visi Trump atau Ancaman Sistemik?
Trump tak asing dengan kebijakan dagang yang kontroversial. Namun kali ini, ia tidak hanya berbicara kepada pemilih dalam negeri melainkan pada dunia. Standar tarif global 15%-20% yang ia cetuskan bisa menjadi model baru atau justru bumerang yang memecah belah rantai pasok global.
Jika kebijakan ini benar-benar menjadi arus utama, pertanyaan besarnya bukan lagi soal dampak ekonomi, tapi: apakah dunia siap hidup di bawah rezim tarif baru yang didefinisikan oleh satu negara saja?
0 comments