Saham Tesla Inc. kembali menjadi sorotan pasar global setelah mencatat kenaikan 33% pada September 2025. Lonjakan ini menandai performa bulanan terbaik Tesla dalam hampir setahun, sekaligus menempatkannya sebagai salah satu dari 10 saham dengan kinerja tertinggi di indeks S&P 500.
Namun, di balik euforia investor, muncul pertanyaan besar: apakah optimisme ini benar-benar berakar pada fundamental, atau sekadar “mimpi AI” yang dijual Elon Musk?
Dari Mobil Listrik ke Robot dan AI
Kenaikan saham Tesla tak lepas dari narasi besar Musk yang berusaha menggeser identitas perusahaan dari sekadar produsen kendaraan listrik menjadi kekuatan besar di bidang kecerdasan buatan (AI).
- Musk menargetkan Tesla tidak hanya menjual mobil listrik, tapi juga robot humanoid Optimus dan armada robotaxi otonom.
- Bahkan, dewan Tesla mengusulkan paket kompensasi fantastis senilai US$1 triliun untuk Musk, sejalan dengan ambisi transformasi perusahaan ke sektor AI.
- Musk sendiri menyebut Tesla akan segera terasa “seperti makhluk hidup” berkat integrasi AI, dengan prediksi 80% pendapatan masa depan berasal dari robot dan AI.
Tantangan Penjualan EV: Diskon Pajak Berakhir
Di sisi lain, fundamental bisnis inti Tesla justru menghadapi tantangan serius.
- Permintaan mobil listrik (EV) mulai melemah akibat kebijakan pro-bahan bakar fosil Presiden Donald Trump, termasuk penghapusan insentif pajak pembelian EV yang berakhir pada akhir September.
- Para analis memperkirakan penjualan EV kuartal ketiga mungkin melonjak sesaat karena konsumen memburu insentif terakhir, namun tren jangka panjang diproyeksikan melambat drastis.
- CEO Ford, Jim Farley, bahkan memperingatkan bahwa pangsa pasar EV di AS bisa turun separuh, dari 10% menjadi hanya 5%.
Saham Tesla: Harapan vs Realita
Meski menghadapi risiko penurunan penjualan, optimisme investor retail terus mendorong saham Tesla ke level tinggi.
- Sejak titik terendah pada April lalu, harga saham Tesla sudah naik 100%, bahkan mendekati rekor sepanjang masa di US$479,86.
- Beberapa analis, seperti Dan Ives dari Wedbush, semakin agresif dengan menaikkan target harga Tesla hingga US$600, dengan alasan potensi besar dari AI dan robotaxis.
- Namun, skeptisisme tetap ada. Ross Gerber, investor lama Tesla, menilai bahwa bisnis inti Tesla hanya bernilai sekitar US$150 per saham, sementara sisanya “hanya hiperbola Elon.”
Tesla di Tengah “Magnificent Seven”
Tesla memang menjadi bagian dari kelompok elit Magnificent Seven bersama Nvidia, Microsoft, Alphabet, Amazon, Apple, dan Meta. Namun, berbeda dengan para raksasa teknologi tersebut yang sudah memiliki bisnis AI profitabel, Tesla masih berada di tahap awal dengan hasil nyata yang terbatas.
Dave Mazza, CEO Roundhill Financial, mengingatkan:
“Pasar saat ini menghargai visi lebih dari hasil. Tesla memang punya momentum, tapi tetap butuh bukti nyata agar bisa menjaga reli.”
Momentum atau Gelembung?
Saham Tesla kini dipandang sebagai “saham kesayangan investor retail,” digerakkan oleh sentimen FOMO (Fear of Missing Out) dan keyakinan pada masa depan AI. Tapi risiko bubble juga makin jelas.
Irene Tunkel dari BCA Research menyebut Tesla sebagai kandidat kuat “gelembung terbesar” di pasar saat ini.
“Elon menjual mimpi, dan investor membelinya. Tapi cepat atau lambat, realitas penjualan akan jadi ujian sesungguhnya.”
Reli Tesla yang spektakuler memperlihatkan bagaimana pasar saat ini sangat terobsesi dengan narasi AI. Namun, fundamental penjualan EV dan persaingan ketat tetap menjadi ancaman nyata.
Pertanyaan besarnya: apakah Tesla benar-benar bisa bertransformasi menjadi raksasa AI, atau justru terjebak dalam euforia pasar?