Di tengah ketidakpastian ekonomi global, ancaman tarif baru, dan inflasi yang mulai merangkak lagi, laporan keuangan kuartal kedua dari tiga bank raksasa AS JPMorgan Chase, Citigroup, dan Wells Fargo justru memberikan kejutan positif: konsumen Amerika Serikat ternyata masih “baik-baik saja.”
Ini bukan klaim tanpa data. Ketiga bank menunjukkan bahwa pendapatan dari divisi perbankan konsumen meningkat, didorong oleh naiknya saldo pinjaman kartu kredit. Tapi yang paling menarik: tingkat keterlambatan pembayaran (delinkuensi 90+ hari) tetap stabil, bahkan jumlah pinjaman yang gagal bayar (net charge-offs) tidak melonjak signifikan.
Dalam konteks ekonomi pasca-pandemi, ini adalah sinyal ketahanan.
Konsumen Berutang Lebih Banyak, Tapi Tetap Bayar Tepat Waktu
Menurut Jeremy Barnum, CFO JPMorgan, “The consumer seems to be fine.” Kalimat ini bukan hanya refleksi dari data internal, tapi juga semacam ringkasan kondisi makro AS saat ini di mana inflasi memang mulai naik kembali, tapi pasar tenaga kerja tetap kuat dengan tingkat pengangguran hanya 4,1%.
Data JPMorgan menunjukkan:
- Net charge-offs hanya naik 1% di divisi konsumen
- Delinkuensi tetap flat year-on-year
- Wells Fargo justru mencatat penurunan 10% dalam pinjaman yang harus dihapuskan
Citigroup bahkan naik 3% di pasar saham setelah laporan keuangan dirilis, sebaliknya JPMorgan turun tipis 0,4%, dan Wells Fargo anjlok lebih dari 5% karena pendapatan bunga tidak sesuai harapan dan adanya pemangkasan proyeksi pendapatan bunga tahunan.
Konsumen Kelas Atas Jadi Fokus Baru
Meski konsumen secara umum terlihat solid, strategi bank besar mulai bergeser ke segmen premium. JPMorgan, misalnya, menaikkan biaya tahunan kartu kredit premium Chase Sapphire Reserve menjadi $795, naik drastis dari sebelumnya $550, dengan janji peningkatan layanan dan fitur.
Citigroup tak mau kalah, mengumumkan peluncuran kartu premium “Strata Elite” untuk konsumen dengan daya beli tinggi, meski rincian biaya dan manfaatnya belum diumumkan.
Di sisi lain, JPMorgan juga membangun 14 kantor cabang eksklusif untuk nasabah dengan saldo minimal $750.000 termasuk di kawasan elite seperti Palm Beach, Florida dan Madison Avenue, New York.
Artinya: bank-bank besar kini berlomba menarik pelanggan kaya yang tetap kuat di tengah ketidakpastian.
Risiko Masih Ada, Tapi Tidak Mendominasi
Meskipun tekanan ekonomi terasa mulai dari kenaikan harga kebutuhan pokok, potensi perang tarif, hingga kekhawatiran resesi global ringan data perbankan menunjukkan bahwa lapisan bawah ekonomi AS memang lebih rentan, tapi belum pada titik krisis.
Barnum menyatakan bahwa tekanan finansial memang lebih terasa di kalangan berpendapatan rendah, namun selama pasar tenaga kerja kuat, risiko sistemik terhadap kredit konsumen tetap minim.
Inflasi memang mencatat kenaikan pada bulan Juni, namun masih lebih moderat dibanding lonjakan pasca-pandemi tahun 2021–2022. Dalam kondisi ini, bank menilai bahwa konsumen masih sanggup beradaptasi, terutama karena tidak terjadi lonjakan PHK besar-besaran.
Konsumen Bertahan, Bank Fokus Naik Kelas
Dari sisi mikro, laporan keuangan ini memberikan gambaran jernih tentang perilaku ekonomi masyarakat AS saat ini: konsumen meminjam lebih banyak, tetap membayar, dan bank memanfaatkan situasi ini dengan memfokuskan layanan ke segmen premium.
Dari sisi makro, ini bisa dibaca sebagai indikator penting bagi The Fed dan investor bahwa pelonggaran moneter drastis belum diperlukan, dan pemangkasan suku bunga mungkin akan ditunda lebih lama dari ekspektasi pasar.
Dengan Bank of America, Goldman Sachs, dan PNC akan merilis laporan keuangan dalam waktu dekat, sorotan terhadap sektor perbankan belum akan mereda. Tapi satu hal tampaknya jelas: konsumen AS, sejauh ini, masih mampu bertahan di tengah guncangan ekonomi yang terus datang bergelombang.
Utang meningkat, tekanan naik, tapi angka tidak berbohong: untuk saat ini, konsumen Amerika masih bisa menahan gelombang.
0 comments