Di tengah turbulensi ekonomi global dan dominasi dolar AS yang makin dipertanyakan, Indonesia tiba-tiba muncul dengan sebuah wacana yang tidak bisa dianggap remeh: menjadikan Bitcoin sebagai bagian dari cadangan nasional.
Ini bukan sekadar wacana liar dari komunitas kripto, melainkan diskusi yang sudah merambah ke level tertinggi pemerintahan Kantor Wakil Presiden RI.
Sinyal ini awalnya muncul dari akun komunitas Bitcoin Indonesia di platform X (sebelumnya Twitter), yang menyatakan bahwa mereka diundang secara resmi ke Kantor Wapres untuk mempresentasikan bagaimana Bitcoin dapat berkontribusi pada ekonomi nasional.
Lebih mengejutkan lagi, wacana ini turut melibatkan aktor-aktor penting dalam dunia keuangan dan investasi negara, seperti BPI Danantara dan para pengusaha muda dari HIPMI.
Cadangan Bitcoin Nasional: Mimpi atau Strategi?
Wacana ini terdengar ambisius, bahkan revolusioner Indonesia menjajaki kemungkinan untuk tidak hanya membeli dan menyimpan Bitcoin, tetapi juga menambangnya sebagai bagian dari strategi cadangan nasional.
Ini akan menempatkan Indonesia di peta global sebagai salah satu negara pelopor di Asia Tenggara dalam integrasi kripto ke dalam sovereign wealth fund.
Gabriel Rey (CEO Triv) dan Anthony Leong (Wasekjen HIPMI) bahkan mengusulkan agar BPI Danantara lembaga pengelola dana abadi yang baru diresmikan Presiden Prabowo Februari lalu mengalokasikan hingga Rp300 triliun (setara $18,3 miliar) untuk membeli Bitcoin.
Menurut perhitungan kasar, jumlah itu bisa membeli sekitar 200.000 BTC, yang bila harga naik, bisa menghasilkan keuntungan besar yang membantu menurunkan utang negara.
Kenapa Bitcoin?
Langkah ini bukan tanpa logika. Bitcoin, sebagai aset langka (dengan suplai terbatas 21 juta BTC), makin dipandang sebagai hedging asset pelindung nilai saat inflasi melanda atau saat mata uang fiat seperti dolar AS kehilangan daya beli.
Negara-negara seperti El Salvador telah mengadopsinya secara resmi, dan banyak institusi global mulai menyisihkan sebagian portofolio mereka ke dalam kripto. Bahkan lembaga seperti BlackRock dan Fidelity sudah menyediakan produk ETF Bitcoin spot bagi investor global, mempertegas bahwa Bitcoin kini tidak lagi sekadar aset spekulatif, tapi telah naik kelas menjadi aset strategis.
Pro dan Kontra: Antara Inovasi dan Risiko
Tentu saja, wacana ini mengundang kontroversi. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah merespons dengan hati-hati. Mereka membuka pintu diskusi, namun mengingatkan bahwa langkah seperti ini harus dibarengi dengan regulasi yang kuat dan tata kelola yang transparan.
Risiko fluktuasi harga Bitcoin yang ekstrem bisa menjadi bumerang bila tidak dikendalikan secara bijak.
Namun, jika pemerintah mampu membentuk kerangka kerja yang solid termasuk pengawasan independen dan transparansi dalam akuisisi maupun penyimpanan aset digital Indonesia bisa mendapatkan kepercayaan publik dan global.
Potensi Ekonomi: Dari Energi Terbarukan hingga Industri Domestik
Tak hanya soal investasi, usulan cadangan Bitcoin ini juga melibatkan potensi strategis dalam sektor energi. Penambangan Bitcoin (Bitcoin mining), yang selama ini dituduh boros energi, justru bisa menjadi katalis pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Bayangkan jika tambang Bitcoin Indonesia didukung oleh pembangkit tenaga air di Papua atau tenaga surya di NTB alih-alih menjadi beban, ia bisa mempercepat pembangunan infrastruktur energi.
Lebih dari itu, adopsi kripto di level nasional akan mendorong edukasi digital, literasi keuangan, dan inovasi teknologi blockchain, yang semuanya krusial untuk daya saing ekonomi Indonesia ke depan.
Indonesia di Persimpangan Sejarah Finansial
Apakah ini awal dari transformasi ekonomi besar-besaran? Atau hanya euforia sesaat dari komunitas kripto yang mendapat panggung politik?
Yang pasti, langkah ini mengindikasikan bahwa Indonesia mulai berpikir di luar kotak melihat bahwa dominasi mata uang fiat global bukanlah sesuatu yang bisa terus diterima begitu saja.
Dengan kerangka hukum yang tepat, pengawasan yang ketat, dan kemauan politik yang kuat, Indonesia bisa saja menjadi negara berkembang pertama yang mengintegrasikan aset digital sebagai bagian dari kedaulatan ekonominya.
Dan ketika kelak kita menengok ke belakang, mungkin momen inilah yang akan dikenang sebagai titik baliknya.