Harga minyak dunia jatuh drastis pada Jumat lalu, mencetak posisi terendah dalam lima bulan, setelah Presiden Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif signifikan atas barang impor asal Cina.
Sentimen tersebut memperlemah prospek permintaan global, terutama di pasar yang sudah berada dalam kondisi kelebihan pasokan.
Penurunan lebih dari $2 per barel atau sekitar 3 – 4 % terjadi dalam waktu satu sesi perdagangan sinyal bahwa pasar energi kini rentan terhadap langkah politik dan kebijakan perdagangan internasional.
Detil Harga Minyak & Reaksi Pasar
- Brent crude ditutup pada $62,73 per barel, anjlok sekitar 3,82 %, level terendah sejak 7 Mei.
- US West Texas Intermediate (WTI) menyusut ke $58,90 per barel, turun 4,24 %, juga menyentuh titik terendah sejak awal Mei.
- Menurut Giovanni Staunovo dari UBS, aksi jual berlangsung karena “pergeseran ke mode risk-off setelah ancaman tarif Trump ke produk Cina.”
- Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates, mencatat bahwa faktor geopolitik sebelumnya (misalnya ketegangan Timur Tengah) kini “tenggelam” dan memberi ruang bagi tekanan fundamental kelebihan pasokan, peningkatan produksi untuk mendominasi.
Tariff Threat Trump vs Ekspor Rare Earth Cina
- Ancaman tarif baru datang setelah Cina memperketat kontrol ekspor mineral langka (rare earth), komponen krusial untuk produksi teknologi tinggi. Langkah itu dipandang sebagai upaya Beijing untuk menahan tekanan eksternal.
- Trump menyebut bahwa Cina mencoba “menahan ekonomi global sebagai sandera”, dan mempertimbangkan bahkan membatalkan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping.
- Cina merespons dengan nada tegas: pihaknya menyatakan bahwa mereka “tidak takut perang dagang”, dan siap melakukan tindakan balasan di bidang ekspor dan kebijakan perdagangan.
- Dalam konteks ini, pasar minyak berada di titik persimpangan antara kebijakan perdagangan dan fundamental energi setiap isyarat dari Washington atau Beijing bisa memicu pergerakan besar.
Kondisi Pasokan & Produksi Global
- Sementara permintaan diragukan akibat eskalasi tarif, sisi pasokan global juga menambah tekanan. OPEC+ telah memulai rollback produksi meskipun lompatan output di Amerika Utara tetap tinggi.
- Kelompok OPEC+ setuju menambah produksi sebesar 137.000 barel per hari (bpd) untuk November, yang dianggap “modest” lebih kecil dari ekspektasi pasar luas.
- Namun menurut analisis, produksi OPEC+ pada September saja menyentuh level tertinggi dalam 31 bulan sinyal bahwa batas suplai sedang ditekan.
- Memang, sejak April, rata-rata realisasi produksi OPEC+ berada di sekitar 75 % dari target, berdasar data Reuters.
- Beberapa analis bahkan memperingatkan kemungkinan surplus besar di 2026, saat produksi non-OPEC (misalnya shale AS) terus tumbuh.
Faktor Risiko Tambahan
- Shutdown Pemerintah AS — jika pemerintah AS mengalami pemadaman anggaran, perlambatan ekonomi berpotensi menghantam permintaan domestik terhadap bahan bakar.
- Permintaan Melambat — meskipun Cina melaporkan kenaikan impor minyak sebesar 3,9 % YoY untuk September, penurunan impor dibanding bulan sebelumnya menandakan volatilitas permintaan.
- Biaya Produksi Naik — kenaikan harga tungsten, logam penting dalam pembuatan alat pengeboran, menekan margin produsen shale AS.
- Isyarat Kebijakan Volatil — setiap langkah agresif dari AS atau Cina bisa memicu reaksi berantai di pasar keuangan dan komoditas.
Implikasi bagi Konsumen & Investor
- Konsumen Akhir / Industri: Penurunan harga minyak bisa menurunkan harga energi, ongkos logistik, dan biaya produksi barang berbasis energi. Namun, ketidakpastian makro bisa menahan kepercayaan konsumen.
- Investor Komoditas & Energi: Minyak kini menjadi instrumen sensitif terhadap kebijakan luar negeri, bukan semata supply-demand. Hedging, posisi short-term trading, dan pemantauan terus-menerus terhadap berita diplomasi & tarif menjadi sangat krusial.
- Portofolio Global: Aset seperti saham energi, perusahaan jasa migas, dan obligasi negara produsen minyak (misalnya negara GCC) akan sangat dipengaruhi oleh pergeseran harga minyak global.
Penurunan harga minyak hingga level lima bulan terendah bukan sekadar reaksi pasar terhadap ancaman tarif melainkan peringatan bahwa sektor energi kini sangat rentan terhadap sentimen politik dan strategi perdagangan global.
Produksi yang terus meningkat dan potensi surplus jangka menengah memperparah tekanan.
Namun, yang paling menarik untuk dicermati adalah: bagaimana kombinasi kebijakan luar negeri, keputusan OPEC+, dan dinamika permintaan negara besar seperti Cina akan membentuk lanskap minyak 2026 ke depan?
Apakah seperti roda yang tergantung di benak investor, harga minyak akan terombang-ambing oleh kebijakan atau fundamental? Siapa yang punya kendali lebih besar diplomat di meja perundingan atau platform pengeboran shale?