Jun 26, 2025

Google HeAR: Deteksi Penyakit Berbasis AI dari Suara Batuk dan Pernapasan

Default Featured Image

Inovasi terbaru di dunia kesehatan menunjukkan bahwa batuk bukan hanya sekadar gejala, melainkan sinyal penting yang dapat mengungkap kondisi kesehatan seseorang. Berkat teknologi kecerdasan buatan (AI) dari Google, kini suara batuk dapat menjadi petunjuk awal untuk mendeteksi penyakit pernapasan seperti tuberkulosis (TB) dan penyakit paru obstruktif kronis (COPD).

Melalui model bioakustik yang disebut Health Acoustic Representations (HeAR), AI dapat menganalisis pola suara untuk mengidentifikasi penyakit secara dini, memberikan harapan baru bagi jutaan orang di seluruh dunia.

HeAR diluncurkan oleh Google pada awal tahun ini sebagai model dasar bioakustik yang dirancang untuk mendeteksi tanda-tanda penyakit dari suara tubuh manusia. Dengan dilatih menggunakan 300 juta data audio dari beragam sumber, termasuk 100 juta suara batuk, HeAR mampu mengenali pola suara yang berkaitan dengan kesehatan, bahkan di berbagai jenis mikrofon.

Kemampuan ini menjadi lompatan besar dalam analisis medis berbasis audio, yang sebelumnya membutuhkan lebih banyak data dan sumber daya untuk mencapai hasil serupa.

Di India, perusahaan kesehatan pernapasan Salcit Technologies telah memanfaatkan HeAR melalui aplikasi Swaasa® untuk mendeteksi TB berdasarkan suara batuk. TB, meskipun dapat diobati, sering kali tidak terdiagnosis dengan baik karena keterbatasan akses ke layanan kesehatan. Dengan bantuan AI, aplikasi ini diharapkan dapat meningkatkan diagnosis TB secara signifikan, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan fasilitas kesehatan.

“Setiap kasus TB yang tidak terdeteksi adalah tragedi; setiap diagnosis terlambat adalah kesedihan,” ujar Sujay Kakarmath, manajer produk Google Research. Ia menambahkan bahwa biomarker akustik dapat mengubah narasi ini, membuka jalan bagi skrining TB yang lebih luas di seluruh India, yang sebelumnya terhambat oleh biaya dan keterbatasan teknologi.

HeAR tidak hanya mendapat dukungan dari komunitas kesehatan, tetapi juga dari organisasi seperti Stop TB Partnership, sebuah inisiatif PBB yang berkomitmen untuk mengakhiri TB pada tahun 2030.

Zhi Zhen Qin, spesialis kesehatan digital dari Stop TB Partnership, mengatakan bahwa teknologi ini menawarkan alat skrining yang potensial, berdampak rendah, dan mudah diakses, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan.

Tidak hanya terbatas pada TB, HeAR juga memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut dalam mendeteksi berbagai penyakit lainnya, seperti kanker.

Penelitian terbaru dari University of Cambridge menunjukkan bahwa model AI seperti HeAR bisa memainkan peran penting dalam deteksi dan penentuan pengobatan kanker di tahap awal, di mana penanganan yang cepat sangat krusial.

Dengan segala keunggulan dan potensi yang dimiliki, HeAR membuka lembaran baru dalam dunia diagnostik kesehatan global. Google mengundang para peneliti di seluruh dunia untuk menjelajahi dan mengembangkan lebih lanjut aplikasi HeAR, guna menciptakan solusi kesehatan yang lebih baik bagi komunitas di seluruh penjuru dunia.

Google HeAR: Deteksi Penyakit Berbasis AI dari Suara Batuk dan Pernapasan
by Rendy Andriyanto


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan