Jun 30, 2025

Bank of Korea Akan Mengambil ‘Pendekatan Hati-Hati’ Terhadap Cadangan Bitcoin

Default Featured Image

Bank of Korea menyatakan bahwa mereka bersikap hati-hati dalam mempertimbangkan kemungkinan menjadikan Bitcoin sebagai bagian dari cadangan devisa.

Dalam tanggapan tertulis pada 16 Maret, pejabat bank sentral Korea menjelaskan bahwa mereka belum melakukan kajian terkait penggunaan Bitcoin sebagai cadangan karena volatilitasnya yang tinggi.

Ketika menjawab pertanyaan dari anggota Komite Perencanaan dan Keuangan Majelis Nasional, Cha Gyu-geun, bank sentral menegaskan bahwa mereka belum pernah membahas atau meninjau opsi untuk memasukkan Bitcoin ke dalam cadangan devisa. Mereka juga menekankan perlunya pendekatan yang hati-hati dalam mempertimbangkan hal tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh Korea Herald.

Menurut Bank of Korea, harga Bitcoin sangat fluktuatif, dan dalam kondisi ketidakstabilan pasar kripto, biaya transaksi untuk mencairkan Bitcoin bisa meningkat secara signifikan.

Selama sebulan terakhir, harga Bitcoin mengalami pergerakan ekstrem, berfluktuasi antara $98.000 dan $76.000 sebelum stabil di sekitar $83.000, mencatatkan penurunan sebesar 15% sejak 16 Februari menurut data dari CoinGecko.

Keputusan ini muncul di tengah meningkatnya perdebatan global mengenai peran aset kripto dalam strategi keuangan nasional, yang dipicu oleh perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump yang baru-baru ini menginisiasi pembentukan cadangan strategis Bitcoin serta stok aset digital.

Dalam sebuah seminar pada 6 Maret, sejumlah pelobi industri kripto dan anggota Partai Demokrat Korea menyerukan agar pemerintah mulai memasukkan Bitcoin ke dalam cadangan nasional serta mengembangkan stablecoin yang didukung oleh won.

Namun, Bank of Korea menekankan bahwa cadangan devisa harus memiliki likuiditas tinggi, dapat segera digunakan saat diperlukan, dan memiliki peringkat kredit yang memenuhi standar investasi—kriteria yang menurut mereka tidak dimiliki oleh Bitcoin.

Profesor Yang Jun-seok dari Universitas Katolik Korea setuju dengan pandangan tersebut, menekankan bahwa cadangan devisa sebaiknya disimpan dalam mata uang yang sebanding dengan volume perdagangan negara mitra.

Sementara itu, Profesor Kang Tae-soo dari KAIST Graduate School of Finance berpendapat bahwa AS kemungkinan besar akan lebih mengandalkan stablecoin daripada Bitcoin untuk mempertahankan dominasi dolar. Ia juga menyoroti pentingnya apakah IMF di masa depan akan mengakui stablecoin sebagai bagian dari cadangan devisa.

Pada awal bulan ini, regulator keuangan Korea Selatan juga mengkaji kebijakan Badan Layanan Keuangan Jepang terkait aset kripto sebagai bagian dari pertimbangan untuk mencabut larangan atas dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) berbasis kripto di negara tersebut.

Bank of Korea Akan Mengambil ‘Pendekatan Hati-Hati’ Terhadap Cadangan Bitcoin
by Albert Agung


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan