Washington Mengirim Pesan Tegas ke Negara Bagian
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang lanskap teknologi global. Kali ini bukan lewat tarif dagang atau kebijakan imigrasi, melainkan melalui perintah eksekutif yang secara langsung menekan regulasi kecerdasan buatan (AI) di tingkat negara bagian. Langkah ini bukan sekadar manuver politik, melainkan sinyal keras bahwa Gedung Putih ingin AI berkembang cepat dan seragam di bawah kendali pusat.
Dalam perintah tersebut, Trump secara eksplisit menilai bahwa fragmentasi aturan AI di negara bagian seperti California dan New York berpotensi menghambat inovasi. Menurutnya, industri teknologi tidak bisa berjalan efektif jika harus berhadapan dengan “50 sumber persetujuan dan penolakan” yang berbeda.
“AI tidak bisa tumbuh jika setiap negara bagian punya buku aturan sendiri,” tegas Trump dari Oval Office.
Pernyataan ini mencerminkan filosofi lama Trump: deregulasi agresif demi keunggulan ekonomi dan geopolitik.
Perintah eksekutif ini melahirkan entitas baru bernama AI Litigation Task Force di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat, sebuah instrumen hukum dengan mandat yang jelas dan bersifat konfrontatif: menantang dan menggugat undang-undang AI di tingkat negara bagian yang dinilai bertentangan dengan kebijakan federal Gedung Putih. Langkah ini diperkuat oleh peran Departemen Perdagangan yang diwajibkan, dalam waktu 90 hari, mengevaluasi seluruh regulasi AI negara bagian, mengidentifikasi aturan yang dianggap memberatkan pertumbuhan industri, serta mengaitkan akses pendanaan federal khususnya melalui program broadband dengan kepatuhan negara bagian terhadap arah kebijakan AI Presiden Trump. Konsekuensinya tegas: negara bagian kini dihadapkan pada pilihan strategis antara mempertahankan otonomi regulasi lokal atau berisiko kehilangan aliran dana federal yang krusial bagi pembangunan infrastruktur digital.
Big Tech Menang, Negara Bagian Terpojok
Tak bisa dipungkiri, kebijakan ini adalah kemenangan besar bagi raksasa teknologi. OpenAI, Google (Alphabet), Nvidia, hingga Andreessen Horowitz selama berbulan-bulan melobi Washington agar menghentikan regulasi AI berbasis negara bagian.
CEO Nvidia Jensen Huang sebelumnya sudah mengingatkan bahwa:
“Regulasi yang berlebihan bisa membunuh industri sebelum ia dewasa.”
Trump tampaknya sepakat. Bahkan Apple CEO Tim Cook disebut ikut terlibat dalam diskusi kebijakan ini sinyal kuat bahwa Silicon Valley berada di barisan depan Gedung Putih.
Dari perspektif pasar, kebijakan ini berpotensi menjadi katalis positif bagi saham teknologi dan AI-related stocks, terutama yang selama ini khawatir terhadap risiko hukum dan kepatuhan lintas wilayah.
Pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent menegaskan bahwa kebijakan AI Trump tidak bisa dilepaskan dari kalkulasi geopolitik global. “Ini soal lulus atau gagal melawan China,” ujarnya, merangkum cara pandang Washington terhadap kecerdasan buatan sebagai aset strategis nasional, bukan sekadar teknologi pendukung bisnis atau inovasi startup. AI kini diposisikan setara dengan semikonduktor, energi, dan kekuatan militer dalam peta persaingan global. Dalam kerangka itu, Trump menilai regulasi yang terlalu ketat sebagai kemewahan yang tidak dapat dinikmati Amerika Serikat jika ingin mempertahankan keunggulan dari Beijing.
Karena itulah, kebijakan pengetatan regulasi ini berjalan seiring dengan dukungan agresif terhadap pembangunan data center berkapasitas besar serta pelonggaran ekspor chip canggih ke sekutu strategis, termasuk Arab Saudi, demi memperluas pengaruh teknologi AS di panggung internasional.
Namun, langkah agresif Gedung Putih ini tidak disambut dengan tepuk tangan merata. Kelompok masyarakat sipil serta sejumlah gubernur termasuk dari Partai Republik menilai kebijakan tersebut berisiko melemahkan perlindungan publik. Presiden Center for Democracy & Technology, Alexandra Givens, menyebut perintah eksekutif ini sebagai “upaya membungkam pengawasan negara bagian terhadap dampak nyata AI,” sebuah kritik yang mencerminkan kegelisahan lebih luas di masyarakat. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, mengingat AI kini telah digunakan dalam proses seleksi kerja, identifikasi tersangka kriminal, pengelolaan klaim asuransi kesehatan, hingga manipulasi gambar dan video melalui teknologi deepfake.
Tanpa peran regulasi lokal yang kuat, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang bertanggung jawab melindungi warga dari dampak negatif teknologi ini?
Pada akhirnya, penekanan Trump terhadap regulasi AI negara bagian merupakan sebuah taruhan besar. Di satu sisi, kebijakan ini mempercepat inovasi, menenangkan investor, dan memperkuat posisi Amerika Serikat dalam persaingan teknologi global. Namun di sisi lain, ia membuka ruang risiko sosial, hukum, dan etika yang belum sepenuhnya terjawab.
Bagi investor dan pelaku pasar, pesan Trump sangat jelas: AI adalah mesin pertumbuhan ekonomi, dan pemerintah federal berdiri di belakang industri ini. Sementara bagi publik, pertanyaan yang tersisa jauh lebih mendalam apakah kecepatan inovasi layak dibayar dengan minimnya pengawasan? Inilah paradoks AI di era Trump: bergerak cepat, agresif, dan sarat konsekuensi.






