Musim laporan keuangan kuartal kedua 2025 resmi dimulai, dan para analis pasar tidak hanya menanti angka mereka sedang mencari sinyal. Apakah pertumbuhan ekonomi masih solid?
Apakah konsumen tetap kuat? Dan yang paling panas: seberapa besar efek dari kebijakan tarif terbaru mantan Presiden Donald Trump terhadap laba perusahaan?
Jawabannya tidak akan sederhana. Dari bank raksasa seperti JPMorgan Chase dan Morgan Stanley, hingga raksasa hiburan seperti Netflix dan produsen chip TSMC, semua sedang diuji bukan hanya oleh data pendapatan mereka tetapi oleh dunia yang makin tidak pasti.
Pertumbuhan Masih Ada, Tapi…
Analis UBS memperkirakan bahwa laba per saham (EPS) untuk perusahaan S&P 500 akan naik sekitar 4,1% dibandingkan tahun lalu. Ini terkesan positif, apalagi mengingat dua kuartal sebelumnya menunjukkan pertumbuhan dua digit.
Namun, seperti biasa, permainan ekspektasi tetap berlaku: ekspektasi biasanya dimulai terlalu tinggi, lalu dikoreksi turun menjelang musim laporan, hanya untuk kemudian dilampaui sedikit demi sedikit.
Tapi tahun ini sedikit berbeda. Menurut FactSet, para analis menurunkan ekspektasi EPS kuartal kedua lebih agresif dari biasanya turun lebih dari 4% sejak akhir Maret. Ini lebih dalam dibanding rata-rata 5, 10, atau bahkan 15 tahun terakhir.
Bahkan jika hasilnya mengalahkan ekspektasi, pasar mungkin tidak akan se-antusias sebelumnya.
Tarif dan Perang Dagang, Lagi?
Ya, drama tarif kembali hadir. Setelah kebijakan perdagangan Trump kembali menjadi sorotan didorong oleh retorika kampanye dan manuver Partai Republik banyak analis percaya dampak tarif akan membebani laba perusahaan.
Menurut Deutsche Bank, tarif bisa memangkas EPS S&P 500 sekitar 2 poin persentase hanya dalam kuartal ini saja. Dan itu bisa memburuk di semester kedua 2025 jika eskalasi berlanjut.
Sektor yang paling terpukul adalah perusahaan yang terkena “efek tarif terkonsentrasi,” yang mencakup sekitar 25% dari total laba S&P 500. Efek ini bukan hanya di tingkat korporasi: Goldman Sachs memperkirakan sekitar 70% dari biaya tarif akan diteruskan ke konsumen melalui harga yang lebih tinggi.
Dengan inflasi yang masih menjadi kekhawatiran utama The Fed, kombinasi harga yang naik dan pertumbuhan yang melambat menjadi kabar buruk bagi arah suku bunga ke depan.
Apa Kata Data & Sentimen?
Pasar saham sempat naik dan mendekati rekor tertinggi pekan lalu. Tapi jangan tertipu. Ketidakpastian masih mengintai di bawah permukaan. “Fundamental ekonomi tampak solid saat ini, tapi ketidakpastian sangat meresap,” kata Jack Kleinhenz, Kepala Ekonom dari National Retail Federation.
Ia menambahkan bahwa pelaku pasar sedang berusaha memahami tarif yang akan datang, dampaknya terhadap inflasi produk ritel, dan berapa lama kebijakan ini akan bertahan.
Dari sisi konsumen, data pengeluaran masih relatif stabil. Tapi margin laba perusahaan bisa tertekan jika biaya terus naik dan konsumen mulai menahan pengeluaran. Ini akan menjadi ujian bagi sektor ritel dan barang konsumsi, seperti PepsiCo yang juga dijadwalkan melaporkan hasil kuartalnya dalam waktu dekat.
Netflix, sebagai pemain FAANG pertama yang akan melaporkan, akan memberi sinyal penting untuk sektor teknologi konsumen. Apakah langganan masih bertumbuh? Apakah pendapatan iklan berhasil mengimbangi tekanan ekonomi global?
Kuartal Ini Bukan Sekadar Angka
Musim laporan kali ini bukan sekadar tentang hitung-hitungan untung dan rugi. Ini tentang narasi ekonomi yang sedang terbentuk di mana inflasi, tarif, dan arah suku bunga bertabrakan dalam satu panggung.
Investor ritel dan institusi harus siap membaca tidak hanya baris terakhir (bottom line), tapi juga kalimat-kalimat kecil di antara laporan laba. Karena jika ada satu hal yang pasti, itu adalah: ketidakpastian adalah satu-satunya konstan saat ini.