Jun 26, 2025

Buffett Lepas 510 Juta Saham Apple: Mengapa Ini Bisa Jadi Taruhan Terbaiknya?

Default Featured Image

Pada awal tahun 2024, dunia investasi dikejutkan oleh langkah berani Warren Buffett, salah satu investor paling disegani sepanjang masa. Melalui konglomeratnya, Berkshire Hathaway, Buffett mulai melakukan penjualan besar-besaran terhadap saham Apple yang selama ini menjadi salah satu andalan portofolionya. Dalam dua kuartal pertama tahun ini, Buffett telah menjual sekitar 510 juta saham Apple, mengurangi kepemilikan Berkshire di raksasa teknologi ini hingga 56%.

Langkah ini memicu spekulasi bahwa Buffett mungkin kehilangan optimisme terhadap masa depan Apple, terutama setelah lonjakan fantastis harga saham Apple selama tujuh tahun terakhir. Namun, meskipun menjual sebagian besar sahamnya, Apple tetap menjadi kepemilikan ekuitas terbesar Berkshire, menyumbang sekitar 41% dari portofolio konglomerat tersebut.

Pada rapat tahunan Berkshire Hathaway di bulan Mei, Buffett masih menunjukkan kekagumannya terhadap Apple. Dia bahkan menyebut Apple sebagai “bisnis yang lebih baik” dibandingkan dengan dua investasi lamanya yang lain, Coca-Cola dan American Express, yang juga dikenal sebagai investasi andalannya selama bertahun-tahun.

Langkah yang Cerdik di Pasar yang Mahal

Buffett tidak menjelaskan alasan di balik penjualan besar-besaran ini. Namun, langkah ini jelas mencerminkan sikap defensif Buffett di pasar yang semakin mahal. Berkshire Hathaway telah menjual saham senilai $90 miliar pada paruh pertama 2024, dan sebagian besar dari jumlah ini berasal dari penjualan saham Apple. Langkah ini meningkatkan cadangan kas Berkshire dari $189 miliar pada akhir kuartal pertama menjadi $278 miliar.

Selain Apple, Buffett juga melepaskan saham Bank of America, investasi besar lainnya yang juga terbukti sangat menguntungkan. Pada bulan Juli, Berkshire menjual saham Bank of America senilai $4 miliar, menambah tumpukan uang tunai yang besar untuk diinvestasikan kembali ke dalam aset-aset yang harganya telah tertekan, mirip dengan saat dia pertama kali membeli saham Apple dan Bank of America.

Keputusan Buffett untuk menjual saham Apple bisa dibilang sebagai contoh sempurna dari strategi “jual di harga tinggi”. Dengan valuasi Apple yang melonjak dari rasio harga-pendapatan (PE) 16 ketika Buffett pertama kali membeli sahamnya, hingga PE 32 pada saat dia mulai mengambil keuntungan besar, saham Apple dianggap sudah terlalu mahal.

Buffett tampaknya menyadari bahwa di harga saat ini, pemegang saham baru atau mereka yang baru saja membeli saham Apple, akan menghadapi tantangan besar untuk mendapatkan keuntungan dua digit di tahun-tahun mendatang.

Memanfaatkan Momentum dengan Tepat

Namun, yang menarik adalah bahwa Buffett tidak berhasil menjual di puncak tertinggi. Saham Apple mencapai $211 pada akhir kuartal kedua—pada saat penjualan besar-besaran Berkshire—sebelum melonjak 12% menjadi rekor $235 pada 16 Juli. Sayangnya, saham Apple kemudian terguncang akibat gejolak yang melanda kelompok saham teknologi besar, yang dikenal sebagai “Magnificent Seven”, sehingga kembali turun ke level $211 pada awal Agustus.

Pengumuman bahwa Berkshire telah menjual sebagian besar sahamnya pada 5 Agustus turut berkontribusi pada penurunan harga saham Apple. Meskipun demikian, penurunan ini bukan disebabkan oleh kinerja buruk dari perusahaan, melainkan ekspektasi pasar yang berlebihan.

Keputusan Buffett untuk menjual sebagian besar saham Apple ini sebenarnya adalah langkah yang cermat dalam mengantisipasi potensi koreksi harga yang lebih besar. Ini juga menjadi pengingat bagi investor lain bahwa bahkan perusahaan terbesar di dunia tidak kebal terhadap gejolak pasar dan ekspektasi yang terlalu tinggi. Buffett, dengan kecerdikannya, kembali menunjukkan bahwa dalam dunia investasi, mengetahui kapan harus mengambil keuntungan adalah kunci untuk bertahan dan terus berkembang.

Sebagai kesimpulan, langkah Warren Buffett untuk mengurangi eksposur pada Apple mencerminkan strategi yang bijak di tengah ketidakpastian pasar. Sementara banyak investor mungkin terpaku pada potensi kenaikan, Buffett memilih untuk mengamankan keuntungan dan mempersiapkan diri menghadapi peluang baru yang mungkin muncul di masa depan. Ini adalah pelajaran penting bagi semua investor—bahwa bahkan dalam keberhasilan, terdapat kebijaksanaan dalam pengelolaan risiko dan perencanaan jangka panjang.

Buffett Lepas 510 Juta Saham Apple: Mengapa Ini Bisa Jadi Taruhan Terbaiknya?
by Rendy Andriyanto


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan