Jun 29, 2025

Pajak Trump Era Akan Berakhir di 2026, Apa Dampaknya bagi Ekonomi AS?

Default Featured Image

Amerika Serikat sedang mendekati tenggat waktu penting dalam kebijakan perpajakan nasionalnya. Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Pekerjaan (Tax Cuts and Jobs Act/TCJA) 2017 salah satu kebijakan ekonomi terbesar di era Presiden Donald Trump akan kedaluwarsa pada 1 Januari 2026. Jika tidak diperpanjang, berbagai insentif pajak yang telah menopang ekonomi selama hampir satu dekade akan lenyap, berpotensi mengguncang pasar dan rumah tangga Amerika.

Apa Saja yang Akan Berakhir?

Ketika TCJA disahkan, tujuannya adalah untuk meringankan beban pajak individu dan bisnis, merangsang investasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar ketentuannya hanya bersifat sementara dan akan habis masa berlakunya dalam waktu kurang dari dua tahun.

Beberapa perubahan yang akan terjadi meliputi:
1. Penyesuaian tarif pajak individu, termasuk kenaikan kembali tarif pajak dan penyempitan batasan bracket pajak.
2. Kenaikan standar pengurangan pajak (standard deduction) yang selama ini menguntungkan banyak wajib pajak.
3. Penghapusan peningkatan kredit pajak anak senilai $2.000, yang selama ini membantu banyak keluarga kelas menengah.
4. Pembatasan kembali pada pemotongan pajak untuk pajak negara bagian dan lokal (SALT), serta bunga hipotek rumah.
5. Hilangnya potongan pajak untuk bisnis kecil dan pemilik usaha perseorangan di bawah Pasal 199A.
6. Pemangkasan keringanan pajak bagi perusahaan, termasuk depresiasi bonus 100% yang telah mulai dihapus secara bertahap sejak 2022.

Selain itu, pajak warisan dan hadiah yang saat ini memiliki batasan lebih tinggi akan kembali ke tingkat sebelum TCJA, yang berarti lebih banyak orang kaya yang akan terkena pajak lebih besar saat mewariskan kekayaan mereka.

Bagaimana Dampaknya pada Ekonomi?

Menurut analisis dari Tax Foundation, jika kebijakan pajak ini diperpanjang secara permanen, ekonomi AS bisa mengalami peningkatan output jangka panjang sebesar 1,1%, dengan kenaikan upah sebesar 0,5% dan tambahan 847.000 pekerjaan penuh waktu.

Namun, ada konsekuensi besar: pemotongan pajak ini akan mengurangi pendapatan pemerintah sebesar $4,5 triliun selama periode anggaran 2025-2034. Defisit yang lebih besar berarti pemerintah harus membayar bunga lebih tinggi atas utang nasional, yang pada akhirnya dapat menekan pendapatan nasional (GNP) hingga 1,0%.

Dari perspektif distribusi, perpanjangan TCJA akan menguntungkan semua kelompok pendapatan, tetapi dengan skala yang berbeda. Kelompok 20% teratas akan mengalami kenaikan 3,3% dalam pendapatan pasca pajak, sementara kelompok 20% terbawah hanya memperoleh kenaikan 2,8%. Ini menegaskan bahwa meskipun TCJA membantu banyak orang, manfaatnya masih lebih besar bagi kelompok berpenghasilan tinggi.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Saat ini, perdebatan politik mengenai perpanjangan TCJA sedang berlangsung. Partai Republik umumnya mendukung perpanjangan, dengan alasan bahwa pajak yang lebih rendah akan terus mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Partai Demokrat cenderung menentangnya, mengingat potensi peningkatan defisit dan kesenjangan pajak yang semakin lebar.

Jika Kongres tidak bertindak sebelum akhir 2025, banyak rumah tangga Amerika akan merasakan kenaikan pajak yang cukup signifikan, dan bisnis mungkin harus menghadapi lingkungan pajak yang lebih ketat. Dengan pemilu 2024 di depan mata, nasib TCJA kemungkinan besar akan menjadi isu utama dalam perdebatan politik dan ekonomi AS dalam waktu dekat.

Pajak selalu menjadi alat kebijakan ekonomi yang krusial, dan berakhirnya TCJA bisa membawa dampak luas bagi individu, bisnis, serta perekonomian AS secara keseluruhan. Apakah kebijakan ini akan diperpanjang atau tidak, satu hal yang pasti: keputusan ini akan memengaruhi kantong jutaan warga Amerika dan arah ekonomi AS di masa depan.

Apakah pemotongan pajak ini sebaiknya diperpanjang atau dibiarkan berakhir?

Pajak Trump Era Akan Berakhir di 2026, Apa Dampaknya bagi Ekonomi AS?
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan