Tesla kembali mencetak rekor. Tapi kali ini, euforia angka tak mampu menutupi kenyataan: rekor itu dianggap gagal. Pasar kecewa, saham anjlok, dan analis mulai bertanya-tanya apakah daya magis Elon Musk mulai memudar di tengah gempuran persaingan global?
Pada Kamis pagi waktu AS, Tesla (TSLA) merilis laporan pengiriman kuartal keempat 2024 yang mencatat angka tertinggi sepanjang sejarah: 495.570 unit kendaraan listrik berhasil dikirim ke pelanggan secara global.
Namun, alih-alih disambut gemuruh positif, pasar bereaksi sebaliknya. Harga saham TSLA langsung turun 6% ke level $379,28, menghapus sebagian besar kenaikan tajam yang mereka raih pada kuartal terakhir 2024.
Apa yang terjadi?
Di Balik Angka yang Tampak Impresif Target Tahunan Gagal Dicapai
Untuk memahami respons pasar, kita perlu melihat konteks yang lebih luas. Tesla sebelumnya menetapkan ekspektasi akan ada pertumbuhan pengiriman yang “sedikit” lebih tinggi dibandingkan tahun 2023, yang mencatat 1,81 juta unit.
Artinya, target internal perusahaan adalah setidaknya mengirim lebih dari 514.925 unit pada Q4 2024 agar total tahunan melampaui rekor sebelumnya.
Sayangnya, dengan capaian hanya 495.570 unit, Tesla gagal mencapai target itu. Dan yang lebih buruk: angka tersebut juga berada di bawah proyeksi analis, yang secara rata-rata memperkirakan 498.000 unit (versi FactSet) dan bahkan ada yang memproyeksikan hingga 506.000 unit.
Masalah Struktural Produk Lama, Persaingan Baru
Menurut analis senior Morgan Stanley, Adam Jonas, kegagalan ini bukan hanya masalah teknis semata. Ia menyebut bahwa performa Tesla mencerminkan “produk yang sudah usang” di tengah banjir pesaing berharga lebih murah secara global.
Hadirnya kendaraan listrik dari BYD di China, Hyundai-Kia di Korea, hingga Stellantis di Eropa mempersempit ruang gerak Tesla, yang masih mengandalkan lineup lama seperti Model 3 dan Model Y.
Memang, pasar China menjadi penyelamat pada Q4, namun penjualan di AS dan Eropa justru melemah, bahkan setelah Tesla menawarkan diskon agresif dan berbagai insentif termasuk promo pajak IRA senilai $7.500 untuk Cybertruck.
Masuk akal bila Tesla kini menggantungkan harapan pada peluncuran model baru yang diberi kode “Juniper” pada awal hingga pertengahan 2025. Model ini diperkirakan menjadi varian yang lebih murah dan segar dari Model 3, yang diyakini bisa mendongkrak kembali daya saing perusahaan secara global.
Performa Saham Mengkilap Tapi Rawan Koreksi
Meski turun tajam pekan ini, saham Tesla masih membukukan kenaikan 62,5% sepanjang 2024, sebagian besar terjadi setelah kemenangan Presiden terpilih Donald Trump pada pemilu AS, yang diyakini akan lebih bersahabat dengan industri otomotif domestik.
Namun sinyal teknikal tak seindah itu. Saham TSLA telah mencatat penurunan empat hari berturut-turut dan menembus di bawah rata-rata pergerakan 21-hari, untuk pertama kalinya sejak Oktober.
Ini menandakan adanya tekanan jual yang meningkat, bahkan di tengah performa indeks yang masih solid.
Meski begitu, secara fundamental Tesla masih memegang banyak kartu kuat:
* Peringkat Composite 90 (dari 99) di sektor produsen otomotif,
* Relative Strength Rating 96, menunjukkan performa relatif yang unggul,
* Dan posisi pertama dalam grup industri otomotif versi IBD Leaderboard.
Tesla Harus Bergerak Lebih Cepat dari Kompetisi
Tidak ada yang menyangkal bahwa Tesla masih menjadi raksasa EV global. Tapi raksasa juga bisa goyah jika tak beradaptasi dengan cepat. Kegagalan mencapai target 2024 adalah pengingat bahwa dominasi di masa lalu tidak menjamin keunggulan masa depan.
Persaingan EV kini bukan hanya soal teknologi, tapi juga harga, desain segar, dan adaptasi regional. Jika Tesla tidak segera meluncurkan model baru seperti Juniper atau meningkatkan efisiensi operasional di pasar yang lemah, 2025 bisa menjadi tahun yang lebih menantang.
Sementara itu, investor perlu menyikapi volatilitas ini dengan strategi yang hati-hati apakah ini saatnya akumulasi saham saat koreksi, atau justru waktunya mengambil keuntungan sebelum badai datang?