Di tengah gejolak market obligasi global dan tekanan fiskal Amerika Serikat, Bitcoin justru menunjukkan performa mengesankan.
Mata uang crypto terbesar di dunia ini terus menguat, bahkan ketika indikator makroekonomi global—seperti yield obligasi AS dan Jepang—mengalami lonjakan signifikan.
Menurut data terbaru, imbal hasil (yield) obligasi 30 tahun AS menembus 5,15% per 22 Mei, tertinggi sejak Oktober 2023.
!2620658dc3a1a/BTC2620658dc3a1a.webp”>BTC 26 2.webp
Krisis Utang AS dan Ketidakpastian The Fed Dorong Aset Alternatif
Utang nasional AS kini melebihi $36.8 triliun dengan beban bunga tahunan yang diprediksi mencapai $952 miliar pada 2025.
Presiden AS, Donald Trump, memang menginginkan penurunan yield obligasi, namun strategi tersebut terkendala oleh sikap hati-hati Federal Reserve yang khawatir terhadap kebangkitan inflasi dan dampak dari perang tarif yang masih berlangsung.
Investor global yang biasanya memandang obligasi negara sebagai aset safe haven, kini mulai meragukan stabilitas fiskal AS. Ini diperkuat oleh hilangnya peringkat kredit AAA terakhir dari pemerintah AS.
Sebaliknya, arus modal mulai bergeser ke aset alternatif—dan Bitcoin berada di garis depan.
Bitcoin Kini Dianggap Aset Pelindung Nilai Sekaligus Aset Risiko
Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar dalam perilaku investor.
Di saat sebelumnya Bitcoin dianggap terlalu volatil, kini banyak institusi melihatnya sebagai aset lindung nilai yang tidak terikat pada sistem keuangan tradisional.
Berdasarkan data CoinGlass, aset kelolaan (AUM) dari ETF Bitcoin spot telah melampaui $104 miliar—rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Sementara itu, laporan Bank of America mengungkapkan bahwa 38% investor institusional kini underweight terhadap saham AS—angka terendah sejak Mei 2023—dan semakin melirik Bitcoin sebagai alternatif strategis.