Jun 30, 2025

Liberation Day: Strategi Tarif Trump Bisa Picu Guncangan Ekonomi Global

Default Featured Image

Donald Trump kembali mengguncang dunia dengan jargon baru: “Liberation Day”, hari pembebasan perdagangan Amerika yang dijadwalkan jatuh pada 2 April 2025. Namun, alih-alih menghadirkan kepastian, pidato dan rencana tarif balasan sang mantan Presiden justru meninggalkan lebih banyak tanya daripada jawab.

Dalam pernyataannya di Gedung Putih awal pekan ini, Trump menyatakan bahwa AS akan meluncurkan skema reciprocal tariffs tarif dagang yang mencerminkan perlakuan yang diterima oleh barang-barang Amerika di luar negeri.

Namun, hanya beberapa detik setelah menyatakan “kita akan membalas setimpal,” ia juga mengatakan, “tapi bisa saja kita lebih baik dari itu.” Artinya? Tidak jelas.

“Tarif Balasan” yang Tidak Sepenuhnya Membalas

Rencana besar ini, jika dijalankan secara menyeluruh, akan sangat kompleks. Menurut analis UBS, penerapan tarif satu per satu untuk tiap barang dari tiap negara akan menghasilkan lebih dari 2,5 juta tarif individual.

Tidak hanya mustahil dari sisi logistik, pendekatan ini juga berpotensi mengacaukan sistem perdagangan global yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Namun ada kemungkinan besar bahwa ini bukanlah gebrakan total, melainkan bagian dari strategi dua tahap. Financial Times melaporkan bahwa pemerintah Trump tengah mempertimbangkan memulai dengan penyelidikan formal terhadap negara-negara mitra dagang sebelum benar-benar mengenakan tarif.

Proses semacam ini bisa memakan waktu hingga enam bulan. Jadi, Liberation Day bisa jadi hanya seremoni awal.

Pasar Optimistis… untuk Sementara

Yang menarik, pasar saham menyambut positif ketidakpastian ini. Pada hari Senin, S&P 500 melonjak hampir 2%, dipimpin oleh saham Tesla dan Nvidia dua perusahaan yang seharusnya paling terdampak jika tarif diberlakukan secara agresif.

Kenaikan ini mencerminkan harapan investor bahwa Trump hanya menggertak, bukan benar-benar akan memberlakukan tarif yang menyeluruh. Atau setidaknya, jika diberlakukan, akan ada banyak “pengecualian”.

Tapi seperti yang dikatakan ekonom UBS:

“Presumably something is going to happen, but the hard part is trying to figure out what precisely that might be.”
 Sulit memprediksi gerakan Trump karena justru ketidakpastian itulah yang menjadi senjatanya.

Tarik Ulur Kepentingan, Dari Washington Hingga Tesla

Salah satu suara paling vokal menentang kebijakan tarif ini datang dari Elon Musk, CEO Tesla, yang secara unik memiliki posisi sangat dekat dengan lingkaran kekuasaan Trump. Tesla menilai bahwa tarif baru bisa memperlambat ekspansi global perusahaan teknologi Amerika, sekaligus mendorong negara lain membalas dengan tarif mereka sendiri.

Tarif Trump sebelumnya seperti pajak 25% pada baja dan aluminium, serta tambahan 20% untuk barang-barang dari Tiongkok telah menunjukkan dampak nyata: inflasi meningkat dan harga barang konsumen melonjak.

Penerapan tarif baru dalam skala global hanya akan memperburuk tekanan biaya hidup yang sudah tinggi di AS.

Apa Sebenarnya Tujuan “Liberation Day”?

Trump memposisikan “Liberation Day” sebagai awal dari pemulihan kedaulatan ekonomi Amerika. Tapi kritik menyebutnya hanya upaya populis untuk merebut kembali dukungan politik di tengah ketegangan pemilu.

Yang sebenarnya terjadi adalah ketidakseimbangan antara retorika dan implementasi: satu sisi ingin tampil agresif terhadap mitra dagang utama seperti China dan Uni Eropa, sementara sisi lain sadar bahwa tarif balasan bisa memicu inflasi, memperburuk defisit anggaran, dan memukul daya beli konsumen.

Dengan 2 April semakin dekat, dunia masih menunggu: apakah Liberation Day akan menjadi momen bersejarah atau hanya panggung teatrikal baru dalam saga kebijakan dagang Trump?

Yang jelas, investor bersiap, mitra dagang waspada, dan ekonomi global kembali bermain dalam permainan penuh risiko bernama “politik tarif Trump” di mana satu tweet bisa mengguncang pasar triliunan dolar.

Liberation Day: Strategi Tarif Trump Bisa Picu Guncangan Ekonomi Global
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan