Jun 30, 2025

Harga Bitcoin Sentuh $97.000: Pasar Kripto Merespons Damai Dagang AS-Tiongkok

Default Featured Image

Bitcoin kembali mencuri perhatian pasar global. Pagi ini, mata uang kripto terbesar di dunia sempat menyentuh level $97.400 sebelum akhirnya sedikit terkoreksi ke $96.858. Kenaikan ini bukan tanpa sebab.

Ada dua kekuatan besar yang tengah saling bertolak belakang: potensi perdamaian dagang AS-Tiongkok di satu sisi, dan ketegangan militer India-Pakistan di sisi lain.

Yang menarik, meski dunia kembali memasuki masa penuh risiko, pasar justru mengambil sikap risk-on yakni cenderung membeli aset-aset berisiko seperti saham dan kripto. Apa yang sebenarnya terjadi?

Negosiasi Dagang AS-Tiongkok: Isyarat Damai dari Swiss

Lonjakan harga Bitcoin terjadi setelah pengumuman bahwa perwakilan dagang AS dan Tiongkok akan menggelar pertemuan tatap muka pertama sejak perang dagang dimulai pada masa Presiden Donald Trump. Pertemuan tersebut dijadwalkan berlangsung akhir pekan ini di Swiss.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dan Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, akan bertemu dengan delegasi dari Beijing. Dalam pernyataannya, Bessent menyebut pertemuan ini sebagai langkah menuju “penyeimbangan kembali sistem ekonomi global agar lebih menguntungkan kepentingan Amerika Serikat.”

Pasar menyambut positif kabar ini. “Aset berisiko seperti Nasdaq dan Bitcoin mulai reli serentak dengan pengumuman ini,” ujar Peter Chung dari Presto Research. Emas biasanya dianggap aset safe haven justru terkoreksi, menandakan perpindahan dana ke arah aset yang lebih spekulatif.

Bitcoin Kembali Jadi Indikator Kepercayaan Pasar?

Kenaikan Bitcoin di tengah ketegangan global menjadi indikasi bahwa aset digital ini semakin diakui sebagai alat lindung nilai terhadap ketidakpastian mirip seperti emas di era sebelumnya.

Namun kini ada twist: bukan hanya ketakutan yang memicu pembelian, tapi juga spekulasi bahwa “normalisasi” hubungan dagang bisa mendorong pemulihan ekonomi global.

Hashkey Capital menyebut pertemuan AS-Tiongkok ini bisa mendorong reli lanjutan di pasar ekuitas dan kripto, seiring harapan pemulihan pasca aksi jual akibat tarif perdagangan beberapa tahun terakhir.

Konflik India-Pakistan Faktor Volatilitas Tambahan

Di sisi lain dunia, konflik memanas antara India dan Pakistan. Serangan militer yang diklaim oleh India telah menghantam sembilan lokasi di wilayah Pakistan dan Kashmir, memicu kekhawatiran akan eskalasi yang lebih luas.

Menurut Nick Ruck dari LVRG Research, peningkatan ketegangan geopolitik ini menciptakan volatilitas tambahan, tetapi justru bisa menjadi katalis bagi Bitcoin sebagai alternatif perlindungan aset.

“Gerakan naik ini cukup mengejutkan, mengingat investor sebelumnya cenderung menarik risiko menjelang keputusan suku bunga The Fed,” katanya.

Asia Menguat, China Potong Suku Bunga

Sementara itu, Asia menunjukkan respons positif. Indeks Hang Seng Hong Kong naik 1,7%, dan CSI 300 di daratan Tiongkok menguat 0,57%. Pendorongnya? Kebijakan moneter akomodatif dari Bank Sentral Tiongkok yang memangkas suku bunga reverse repo 7-hari dari 1,5% menjadi 1,4%, serta menurunkan rasio cadangan wajib bank sebesar 0,5 poin.

Kebijakan ini dinilai sebagai sinyal dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian perdagangan. Pasar bereaksi dengan euforia moderat, dan efeknya terasa pada kripto yang sensitif terhadap likuiditas.

Wall Street Masih Turun, Tapi Bitcoin Melesat

Ironisnya, saat Asia menguat dan Bitcoin reli, indeks-indeks utama AS justru mencatat penurunan semalam: S&P 500 -0,77%, Dow Jones -0,95%, dan Nasdaq -0,87%. Ketidakpastian menjelang keputusan The Fed dan kekhawatiran tentang inflasi masih menghantui investor.

Namun, ini juga menunjukkan pergeseran sentimen: saat Wall Street tersandung, investor global mulai melirik aset non-tradisional seperti kripto sebagai pelarian potensial.

Bitcoin, Barometer Risiko Baru Dunia

Lonjakan Bitcoin hingga menyentuh $97.000 pagi ini menandakan lebih dari sekadar pergerakan harga. Ini adalah cerminan dari pertarungan dua narasi besar: harapan terhadap perdamaian dagang dan kekhawatiran atas konflik bersenjata. Ditambah dengan sentimen likuiditas global dan respons kebijakan moneter Asia, Bitcoin kini menjadi lebih dari sekadar spekulasi ia adalah indikator keyakinan (dan ketakutan) pasar dunia.

Di tengah perang tarif dan desingan rudal, Bitcoin tak sekadar bertahan ia memimpin. Dunia berubah, dan pasar sedang mencari arah. Apakah kripto kini kompasnya?

Harga Bitcoin Sentuh $97.000: Pasar Kripto Merespons Damai Dagang AS-Tiongkok
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan