Oracle Di Tengah Pusaran AI dan Isu Margin
Di tengah euforia industri Artificial Intelligence (AI) dan tren pemangkasan suku bunga The Fed, saham Oracle Corp. (NYSE: ORCL) kembali menjadi sorotan investor global. Namun kali ini, perhatian datang bukan hanya karena kinerjanya yang solid, tapi juga lantaran isu kontroversial soal margin laba dari proyek AI yang dikabarkan bocor ke publik.
Meski begitu, sejumlah analis di Wall Street menegaskan bahwa laporan tersebut “tidak memiliki dasar kuat” dan menilai Oracle masih berada di jalur pertumbuhan yang sehat berkat lonjakan kontrak cloud AI berskala besar.
“Ini bukan laporan resmi dari Oracle. Tidak ada dokumen internal yang dikonfirmasi. Jadi untuk saat ini, itu hanyalah rumor,” ujar Jim Lebenthal, Chief Equity Strategist di Cerity Partners, dalam wawancara dengan CNBC.
Rumor Margin Tipis Oracle Disebut Tak Berdasar
Isu bermula dari laporan The Information, yang mengklaim telah melihat “dokumen internal” Oracle yang menunjukkan tekanan margin akibat peningkatan biaya operasional untuk proyek AI dan infrastruktur cloud.
Namun, Lebenthal langsung membantah keabsahan laporan itu, menyebutnya sebagai “unsubstantiated rumor” rumor tanpa bukti konkret.
“Tunjukkan buktinya. Tunjukkan laporan internal itu. Selama belum ada pernyataan resmi dari Oracle, kita tidak bisa menyebut ini fakta,” tegasnya.
Bantahan ini datang di saat sentimen pasar terhadap saham AI sedang tinggi-tingginya, membuat investor sensitif terhadap setiap rumor terkait profitabilitas. Namun, sebagian besar analis menilai bahwa isu margin bukan ancaman nyata bagi Oracle, melainkan bagian dari siklus investasi besar yang lazim pada fase ekspansi AI.
Aliansi Besar, Risiko Besar
Salah satu pemicu kekhawatiran pasar adalah kerja sama strategis Oracle dengan OpenAI, yang disebut-sebut akan menelan biaya pembangunan pusat data (data center) dalam skala besar.
Menurut laporan analis, OpenAI diperkirakan akan membakar hingga US$115 miliar dalam empat tahun ke depan dan baru akan mencapai profitabilitas pada 2030. Sementara itu, Oracle kemungkinan harus meminjam puluhan miliar dolar untuk memperluas kapasitas infrastruktur cloud-nya agar mampu menampung beban komputasi AI dari mitra seperti OpenAI, Microsoft, dan Anthropic.
Namun, di sisi lain, kemitraan ini juga membawa peluang luar biasa. Permintaan terhadap server AI dan layanan cloud dengan daya komputasi tinggi melonjak tajam, dan Oracle kini menjadi salah satu dari sedikit perusahaan yang mampu menyediakan infrastruktur berskala besar di luar Amazon Web Services (AWS) dan Microsoft Azure.
“Ya, ada risiko modal, tapi Oracle sedang menanam untuk masa depan AI global,” tulis Mar Vista U.S. Quality Strategy dalam surat investor kuartal ketiganya. “Mereka kini berada di posisi strategis untuk menjadi pemasok utama komputasi AI inilah momen ‘NVIDIA moment’ bagi Oracle.”
NVIDIA Moment Oracle
Oracle melaporkan hasil kuartalan yang sangat kuat untuk periode FQ1 2026 (Agustus 2025). Salah satu sorotan utama adalah Remaining Performance Obligations (RPO) indikator nilai kontrak jangka panjang yang belum diakui sebagai pendapatan yang melonjak US$317 miliar secara kuartalan menjadi sekitar US$455 miliar.
Lonjakan luar biasa ini dipicu oleh empat kontrak besar bernilai miliaran dolar dari tiga klien utama, semuanya terkait dengan pelatihan dan inferensi model AI berskala besar (Large Language Models / LLMs).
Kenaikan RPO sebesar itu menandakan permintaan global terhadap layanan cloud Oracle melonjak pesat, menjadikannya salah satu pemain paling agresif di sektor cloud-AI enterprise.
Analis menyebut pencapaian ini sebagai “NVIDIA moment” bagi Oracle merujuk pada titik balik di mana perusahaan mulai dipandang bukan lagi sebagai penyedia perangkat lunak klasik, tapi sebagai pemimpin infrastruktur AI generasi baru.
AI Mendorong Optimisme, Tapi Butuh Kesabaran
Meski sentimen jangka pendek sempat tertekan akibat rumor margin, investor institusional tampak masih optimistis. Saham Oracle naik lebih dari 20% year-to-date (YTD) dan terus menarik minat berkat potensi pertumbuhan di segmen cloud AI, terutama setelah sukses menjalin kemitraan dengan Nvidia dan Cohere.
Namun, para analis juga memperingatkan bahwa fase ekspansi AI memerlukan kesabaran. Besarnya belanja modal untuk pembangunan data center dan server GPU mungkin menekan margin operasional dalam jangka pendek, tapi meningkatkan potensi pendapatan jangka panjang secara eksponensial.
“Investor harus melihat ini bukan sebagai risiko, tapi sebagai transformasi,” ujar seorang analis dari Morgan Stanley. “Oracle sedang bergerak dari era software tradisional menuju era infrastruktur AI ini seperti transisi Microsoft di awal era cloud.”
Rumor Tak Goyahkan Fondasi Oracle
Meskipun rumor tentang tekanan margin sempat mencuat, fakta menunjukkan bahwa fundamental Oracle tetap solid. Dengan RPO mencapai US$455 miliar, pertumbuhan cloud yang agresif, dan kemitraan strategis di sektor AI, Oracle berada di jalur yang sama dengan para pemimpin revolusi AI global.
Isu margin hanyalah “noise” di tengah transformasi besar-besaran dan bagi investor jangka panjang, ini bisa menjadi kesempatan emas untuk masuk sebelum valuasi melonjak.
Saat AI Jadi Revolusi, Saatnya Investasi di Infrastruktur Teknologi Global
Transformasi AI tak hanya milik Nvidia atau Microsoft Oracle kini ikut menjadi tulang punggungnya. Mulailah berinvestasi di saham global seperti Oracle (ORCL), Nvidia (NVDA), dan Alphabet (GOOG) melalui Nanovest, platform investasi yang memungkinkan kamu membeli saham global mulai dari Rp 5.000.
Pantau tren AI, diversifikasi portofolio, dan ikuti arus teknologi yang sedang membentuk masa depan dunia. Karena dalam setiap revolusi teknologi, selalu ada peluang besar bagi yang siap berinvestasi lebih awal.



