Netflix Inc. (NASDAQ: NFLX) akan merilis laporan pendapatan kuartal ketiganya pada Selasa malam waktu AS, dan seluruh mata investor kini tertuju pada satu hal: bisnis iklan dan nilai valuasi yang kian tinggi.
Meskipun saham Netflix telah naik sekitar 40% sejak awal tahun, performa tersebut masih tertinggal dibandingkan indeks teknologi besar seperti NASDAQ 100 dan saham-saham sejenis seperti Amazon, Meta, dan Alphabet.
Pasalnya, investor mulai mempertanyakan dua hal krusial apakah pertumbuhan pengguna masih berlanjut, dan apakah valuasi Netflix sudah terlalu mahal?
Bloomberg memproyeksikan pendapatan kuartal ketiga Netflix akan mencapai US$11,52 miliar, naik tajam dari US$9,82 miliar setahun sebelumnya. Sementara laba per saham (EPS) diperkirakan US$6,94, atau melonjak dari US$5,40 pada periode yang sama tahun lalu.
Angka ini sedikit di atas panduan internal Netflix yang memperkirakan EPS US$6,87.
Konten dan Iklan Jadi Mesin Baru
Netflix telah lama berhenti mengumumkan pertumbuhan pelanggan sinyal bahwa fokus kini bukan sekadar menambah pengguna, melainkan meningkatkan monetisasi per pengguna.
Kunci utama pertumbuhan kali ini datang dari bisnis iklan (ad-tier) yang mulai menunjukkan hasil nyata. Melalui integrasi baru dengan Amazon DSP (Demand-Side Platform), Netflix membuka pintu bagi pengiklan untuk membeli inventory iklan secara lebih fleksibel di 11 pasar global.
Menurut analis JPMorgan, Doug Anmuth, langkah ini akan mempercepat proses onboarding pengiklan dan meningkatkan pengeluaran iklan di platform Netflix. Proyeksinya, pendapatan iklan Netflix akan melonjak dari US$1,4 miliar pada 2024 menjadi US$2,9 miliar pada 2025, lalu naik lagi 45% ke US$4,2 miliar pada 2026.
Jika terealisasi, hal ini menempatkan Netflix sebagai pemain baru yang serius di bisnis iklan digital, menantang dominasi YouTube dan TikTok dalam iklan video premium.
Dari Tinju Dunia hingga K-Pop
Di luar iklan, Netflix menunjukkan keunggulan kontennya melalui program langsung (live content) dan animasi original.
Pertarungan Canelo vs. Crawford menjadi momen besar dengan lebih dari 41 juta penonton global, menjadikannya pertandingan tinju pria paling banyak ditonton abad ini. Selain itu, film animasi “KPop Demon Hunters” sukses mencetak sejarah sebagai film Netflix paling banyak ditonton sepanjang masa dengan 325 juta view.
Kedua fenomena ini menjadi bukti kuat bahwa Netflix tak lagi hanya bergantung pada serial hit seperti Stranger Things atau The Crown, tetapi mampu melahirkan “IP baru” yang langsung mendunia.
Streaming Bertemu Audio
Awal Oktober lalu, Netflix juga mengumumkan kolaborasi strategis dengan Spotify (SPOT). Mulai awal 2026, platform ini akan menayangkan video podcast dari Spotify Studios dan The Ringer, termasuk “The Bill Simmons Podcast” dan “Serial Killers”.
Kolaborasi ini menciptakan ekosistem baru: penggabungan audio-visual streaming, di mana Netflix memperluas konten non-fiksi dan berbasis pembicaraan, sementara Spotify memperluas distribusi video.
Langkah ini menarik karena Netflix selama ini dikenal enggan melakukan akuisisi besar. Analis JPMorgan menegaskan bahwa perusahaan ini lebih condong menjadi “builder, bukan buyer” artinya, pertumbuhan organik melalui inovasi, bukan merger besar.
Valuasi & Kompetisi AI
Namun, di balik semua kabar baik, risiko valuasi Netflix semakin mengemuka. Saham NFLX saat ini diperdagangkan sekitar 45 kali laba ke depan (forward P/E) jauh di atas rata-rata sektor teknologi dan indeks S&P 500.
Beberapa analis, termasuk di Citi dan JPMorgan, memperingatkan bahwa harga saham mungkin sudah mencerminkan optimisme berlebihan terhadap bisnis iklan dan pertumbuhan engagement.
Selain itu, muncul kekhawatiran dari Morgan Stanley soal dampak jangka panjang AI generatif. Menurut analis Ben Swinburne, AI dapat menjadi “distribusi konten generasi berikutnya” yang berpotensi menggeser posisi dominan Netflix meski bukan ancaman dalam waktu dekat.
Musk dan “Woke Controversy”
Menambah warna, kontroversi muncul ketika Elon Musk menyerukan kepada pengikutnya di X (Twitter) untuk membatalkan langganan Netflix, menuduh platform tersebut “terlalu woke”.
Meskipun dampak jangka panjangnya belum terlihat, saham Netflix sempat turun 5% setelah serangan verbal Musk di awal bulan lalu, sebelum akhirnya stabil kembali.
Netflix Masih di Atas, Tapi Tak Boleh Lengah
Netflix memasuki kuartal penting dengan kombinasi kekuatan dan kerentanan. Di satu sisi, perusahaan berhasil mendiversifikasi pendapatan lewat iklan dan konten live; di sisi lain, valuasi tinggi dan tekanan kompetitif tetap membayangi.
Bagi investor, laporan pendapatan kali ini bukan sekadar angka melainkan indikator masa depan industri streaming global. Apakah Netflix mampu mempertahankan statusnya sebagai “raja streaming” di tengah gempuran AI, pesaing baru, dan tuntutan valuasi pasar?
Jawaban itu akan mulai terlihat setelah bel pembukaan Wall Street malam ini.