Nike, dari Dominasi ke Reposisi
Sebagai ikon global olahraga dan budaya pop, Nike Inc. (NYSE: NKE) telah lama menjadi simbol inovasi dan gaya hidup. Namun, beberapa tahun terakhir menjadi masa yang menantang bagi raksasa sepatu asal Oregon itu.
Ketergantungan berlebihan pada penjualan digital, melemahnya hubungan dengan mitra grosir, serta stagnasi inovasi di segmen lari kategori yang dulunya menjadi jantung bisnis Nike membuat momentum pertumbuhan perusahaan sempat melambat.
Kini, di tengah tekanan pasar dan gempuran pesaing seperti Adidas, New Balance, On Running, hingga merek-merek lokal yang agresif, Nike mulai menata ulang strategi pemulihan (road to recovery) yang berfokus pada inovasi, efisiensi, dan penguatan nilai bagi pemegang saham.
Sinyal Pemulihan, Tapi Jalan Masih Panjang
Hasil keuangan terbaru menunjukkan bahwa Nike mulai menapaki jalur pemulihan, meski perlahan. Dalam kuartal pertama tahun fiskal ini, perusahaan membagikan dividen sebesar US$591 juta, naik 6% dibanding tahun sebelumnya, serta melakukan pembelian kembali saham (share buyback) senilai US$123 juta, atau setara dengan 1,8 juta saham yang ditarik dari peredaran.
Langkah ini menegaskan bahwa meski menghadapi tekanan operasional, Nike tidak mengendurkan komitmennya kepada pemegang saham. Dengan dividen kuartalan sebesar US$0,40 per saham, Nike kini memiliki dividend yield 2,37% (per 13 Oktober 2025) sebuah angka yang solid untuk perusahaan sektor ritel dan konsumsi global.
Lebih mengesankan lagi, Nike telah meningkatkan dividennya selama 23 tahun berturut-turut, menempatkannya dalam daftar “Reliable Dividend Stocks for Maximum Income” di Wall Street.
“Nike tetap menjadi simbol kekonsistenan dalam reward kepada pemegang saham, bahkan di tengah tekanan bisnis yang signifikan,” tulis analis dalam laporan Insider Monkey Dividend Watchlist 2025.
Terlalu Nyaman di Zona Digital
Salah satu akar masalah yang dihadapi Nike adalah over-reliance terhadap strategi digital-first. Setelah pandemi, perusahaan terlalu fokus mengarahkan penjualan melalui kanal online sendiri seperti aplikasi SNKRS dan Nike.com sambil memangkas hubungan dengan pengecer besar seperti Foot Locker, Finish Line, dan Dick’s Sporting Goods.
Akibatnya, peta distribusi menjadi sempit, dan merek kehilangan sebagian visibilitasnya di pasar grosir. Di saat yang sama, kurangnya inovasi dalam produk inti seperti sepatu lari memberi ruang bagi pesaing untuk merebut pangsa pasar.
Contohnya, On Running dan HOKA berhasil menarik perhatian konsumen dengan teknologi sol dan desain futuristik yang langsung viral di kalangan pelari profesional maupun gaya hidup. Adidas pun berhasil melakukan “comeback” besar lewat lini Samba dan Spezial, yang mendominasi tren fesyen global sepanjang 2025.
Kembali ke Akar Inovasi
Untuk memulihkan posisi dominan, Nike kini kembali fokus ke inovasi produk dan efisiensi rantai pasok. Perusahaan mempercepat pengembangan seri ZoomX, Pegasus Turbo, dan AlphaFly Next%, sekaligus berinvestasi besar dalam teknologi bahan daur ulang dan keberlanjutan (sustainability materials).
Nike juga sedang merancang kolaborasi eksklusif dengan desainer global serta relaunch beberapa lini klasik seperti Air Max 1 dan Dunk, yang menjadi magnet bagi generasi muda.
Selain inovasi produk, perusahaan juga memperluas strategi omnichannel, mengombinasikan kekuatan digital dengan kemitraan retail. Langkah ini diharapkan mengembalikan keseimbangan antara distribusi langsung dan grosir sesuatu yang menjadi kunci pertumbuhan jangka panjang.
Daya Saing di Tengah Pasar yang Makin Padat
Persaingan di pasar sepatu olahraga semakin brutal. Selain Adidas dan Puma, Nike kini harus bersaing dengan merek-merek teknologi tinggi seperti On Holding AG (ONON) dan lululemon (LULU) yang merambah kategori sepatu lari premium.
Di sisi lain, pemain Asia seperti Anta Sports dan Li-Ning juga memperluas ekspansi global, mengusung inovasi berbasis riset biomekanika yang mampu menyaingi teknologi Nike. Namun, dengan basis merek yang kuat, infrastruktur global, dan strategi R&D baru, analis percaya Nike masih punya daya saing fundamental yang sulit digoyahkan.
“Nike tidak kehilangan daya saing hanya butuh waktu untuk menyesuaikan arah setelah beberapa tahun terlalu bergantung pada digital,” kata analis pasar saham di Morningstar.
Dividen Jadi Magnet Utama
Meski saham Nike sempat tertekan sepanjang 2024 akibat margin yang menyempit, investor jangka panjang tetap melihat potensi pemulihan yang signifikan. Dividen yang stabil dan prospek pertumbuhan EPS jangka menengah menjadikan NKE salah satu saham defensif di sektor konsumen global.
Dalam konteks pasar yang tidak pasti, stabilitas dividen Nike menjadi faktor kepercayaan investor. Dengan neraca keuangan yang sehat, posisi kas kuat, dan rasio utang terkendali, perusahaan memiliki cukup ruang untuk mendanai inovasi sambil tetap menjaga arus kas untuk pemegang saham.
Dari Krisis ke Konsistensi
Nike saat ini berada di persimpangan penting. Setelah bertahun-tahun menjadi simbol inovasi dan gaya hidup, perusahaan kini harus membuktikan bahwa reputasi bukanlah pengganti evolusi.
Dengan komitmen terhadap inovasi, efisiensi operasional, dan loyalitas pada investor, Nike berpeluang besar untuk bangkit kembali sebagai pemimpin industri olahraga dan fesyen global.
Selama perusahaan mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan profitabilitas, Nike akan tetap menjadi saham jangka panjang yang layak dikoleksi bukan hanya untuk penggemar olahraga, tapi juga investor cerdas.
Investasi pada Merek yang Tak Pernah Ketinggalan Zaman
Nike telah melewati dekade penuh perubahan dan tetap bertahan. Kini giliran kamu untuk berinvestasi di perusahaan global yang terus beradaptasi seperti Nike, Adidas, atau lululemon lewat Nanovest.
Mulai dari Rp 5.000, kamu bisa ikut memiliki saham merek ikonik dunia dan menikmati pertumbuhan jangka panjangnya. Bangun portofoliomu sekarang karena gaya dan investasi bisa berjalan seiring.



