Luka Lama Skandal Madoff Kembali Menggigit HSBC
Lebih dari satu dekade setelah skandal investasi terbesar dalam sejarah keuangan modern, nama Bernard Madoff kembali menghantui dunia perbankan. Kali ini, giliran HSBC Holdings Plc (NYSE: HSBC) yang harus menanggung dampaknya.
Dalam laporan terbarunya, bank terbesar di Eropa itu mengumumkan akan mencatat provisi sebesar US$1,1 miliar pada laporan kuartal ketiga 2025. Langkah ini diambil menyusul putusan pengadilan Luksemburg yang menolak sebagian banding HSBC dalam kasus Herald Fund SPC vs. HSBC Securities Services Luxembourg (HSSL) sengketa hukum yang berakar pada investasi dana yang terjebak dalam penipuan Ponzi Bernard L. Madoff Investment Securities LLC.
Sisa Bayangan dari Skandal Madoff
Kasus ini bermula sejak tahun 2009, ketika Herald Fund SPC menggugat HSBC Luxembourg atas kerugian yang diderita akibat kolapsnya perusahaan investasi Madoff. HSBC kala itu berperan sebagai penyedia jasa keuangan (service provider) bagi beberapa dana investasi yang menyalurkan modal ke Madoff Investment Securities yang belakangan diketahui menjalankan skema Ponzi terbesar dalam sejarah, dengan kerugian total mencapai lebih dari US$65 miliar.
Dalam putusan 24 Oktober 2025, Pengadilan Kasasi Luksemburg (Court of Cassation):
- Menolak banding HSBC atas klaim pengembalian sekuritas (restitusi aset), namun
- Menerima sebagian banding terkait restitusi tunai, membuka ruang bagi proses hukum lanjutan.
HSBC menyatakan pihaknya akan mengajukan banding kedua ke Pengadilan Banding Luksemburg, dan bila hasilnya kembali tidak memuaskan, perusahaan akan menantang besaran pembayaran restitusi dalam proses berikutnya.
Tekanan Terukur, Tapi Tak Goyahkan Fundamental
Meskipun jumlah provisi mencapai US$1,1 miliar, HSBC menegaskan bahwa dampak terhadap rasio modal inti (CET1) hanya sekitar 15 basis poin artinya, efek finansialnya masih dalam batas yang dapat dikendalikan.
Bank juga menekankan bahwa provisi ini akan diklasifikasikan sebagai “material notable item”, sehingga tidak akan mempengaruhi laba bersih operasional maupun kebijakan dividen untuk tahun penuh 2025.
“Kami akan terus mengevaluasi kasus ini mengingat kompleksitas perhitungan jumlah restitusi. Dampak keuangan akhir bisa berubah secara signifikan dari estimasi saat ini,” ujar HSBC dalam pernyataannya kepada bursa London.
Langkah ini menunjukkan kehatian-hatian (prudence) dalam tata kelola risiko, sekaligus memberi sinyal bahwa HSBC masih memegang kendali atas implikasi hukum dari kasus lama yang kompleks.
Luka Abadi di Dunia Keuangan
Kasus ini berakar dari skema Ponzi raksasa yang dijalankan oleh Bernard L. Madoff, mantan ketua NASDAQ dan pendiri Bernard L. Madoff Investment Securities LLC. Selama puluhan tahun, Madoff menjanjikan imbal hasil tinggi dan stabil kepada ribuan investor mulai dari individu kaya, lembaga keuangan besar, hingga yayasan amal namun nyatanya dana mereka digunakan untuk membayar investor lama dari uang investor baru.
Skema ini terbongkar pada Desember 2008, memicu salah satu krisis kepercayaan terbesar dalam industri investasi global. Madoff dijatuhi hukuman 150 tahun penjara pada 2009 dan meninggal di penjara pada 2021.
HSBC, yang saat itu menjadi penyedia layanan untuk beberapa dana yang menyalurkan uang ke Madoff, menjadi salah satu dari banyak lembaga keuangan yang terseret dalam proses hukum internasional.
Investor Tetap Tenang, Fokus pada Kinerja Inti
Meski angka provisi terlihat besar, reaksi pasar terhadap pengumuman HSBC terbilang tenang. Analis menilai langkah tersebut sudah terantisipasi, mengingat proses hukum kasus Madoff di Eropa telah berlangsung lama dan sempat beberapa kali muncul dalam laporan risiko HSBC sebelumnya.
Bahkan, beberapa analis menilai keputusan ini bisa menghapus ketidakpastian jangka panjang yang membebani valuasi saham HSBC. Saham HSBC sendiri masih naik sekitar 12% secara year-to-date (YTD), didukung oleh kenaikan margin bunga bersih (NIM) dan strategi pengetatan biaya operasional global.
“Provisi ini bersifat non-cash dan tidak memengaruhi arus kas operasional. Pasar cenderung melihat ini sebagai penyelesaian masalah lama, bukan ancaman baru,” tulis analis Barclays dalam catatan risetnya.
Fokus pada Pemulihan Kepercayaan dan Efisiensi
Bagi HSBC, tantangan terbesar saat ini bukan sekadar dampak keuangan, tapi pemulihan reputasi setelah serangkaian kasus hukum dan tekanan regulasi di berbagai negara.
Bank ini sedang menjalankan restrukturisasi besar yang mencakup:
- Penjualan operasi non-inti di Amerika Selatan dan Kanada,
- Digitalisasi penuh layanan ritel di Asia, dan
- Penguatan fokus pada pasar utama di Hong Kong, Tiongkok, dan Asia Tenggara, yang kini menjadi penyumbang lebih dari 70% laba grup.
Dengan strategi ini, HSBC berharap bisa mengurangi eksposur risiko hukum dan geografis, sekaligus memperkuat posisinya sebagai bank internasional dengan basis Asia yang kuat.
HSBC Menutup Luka Lama, Menatap Masa Depan
Provisi US$1,1 miliar yang dicatat HSBC mungkin terdengar besar, tetapi dalam konteks perusahaan dengan kapitalisasi pasar lebih dari US$150 miliar, dampaknya relatif kecil secara fundamental.
Langkah ini justru bisa menjadi titik akhir dari bab lama yang kelam, membuka jalan bagi bank untuk melanjutkan fokus pada transformasi digital, ekspansi Asia, dan stabilitas dividen.
Kasus Madoff mungkin sudah menjadi sejarah, tetapi bagi dunia keuangan, ia tetap menjadi pengingat keras tentang pentingnya tata kelola dan transparansi dalam industri investasi.
Investasi dengan Aman dan Transparan
Skandal Madoff mengajarkan satu hal penting: kepercayaan adalah fondasi investasi. Mulailah berinvestasi di perusahaan global terpercaya seperti HSBC, JPMorgan, atau Citigroup melalui Nanovest.
Mulai dari Rp 5.000, kamu bisa memiliki saham AS dan ikut membangun portofolio yang solid, transparan, dan berorientasi jangka panjang. Investasi cerdas dimulai dari transparansi dan diversifikasi.



