Pergerakan harga Bitcoin kembali menunjukkan volatilitas tinggi menjelang pembukaan pasar Wall Street, dipicu oleh rilis data inflasi Amerika Serikat yang berada di bawah ekspektasi. Data terbaru Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) memberikan kejutan bagi pelaku pasar dan langsung memengaruhi sentimen di aset berisiko, termasuk kripto.
Bitcoin sempat bergerak naik dan mendekati area US$89.000 sebelum akhirnya berbalik arah. Pola pergerakan yang cepat dan fluktuatif ini mencerminkan kondisi pasar yang masih sensitif terhadap perkembangan data makroekonomi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan moneter AS. Bagi trader, situasi tersebut menjadi tantangan tersendiri karena pergerakan harga yang tajam kerap terjadi dalam waktu singkat.
Rilis CPI bulan November mencatat salah satu penurunan bulanan terbesar sejak 2023, jauh dari perkiraan pasar. Secara tahunan, inflasi AS tercatat berada di kisaran 2,7%, menurun dibandingkan periode sebelumnya. Penurunan ini menempatkan inflasi inti AS pada level terendah sejak 2021, sekaligus membawa inflasi semakin dekat dengan target Federal Reserve sebesar 2%. Kondisi tersebut memperkuat ekspektasi bahwa bank sentral AS memiliki ruang lebih besar untuk mulai melonggarkan kebijakan moneternya.
Pasar merespons data ini dengan meningkatkan taruhan terhadap pemangkasan suku bunga pada tahun depan. Pelemahan dolar AS serta penurunan imbal hasil obligasi turut mendorong minat terhadap aset berisiko seperti Bitcoin. Namun, alih-alih bergerak stabil, harga Bitcoin justru menunjukkan karakter pergerakan yang tidak menentu, dengan lonjakan dan koreksi yang silih berganti.
Sejumlah pelaku pasar menilai bahwa Bitcoin saat ini sedang “berburu likuiditas,” yakni menguji area harga di atas dan di bawah level tertentu untuk mencari keseimbangan baru. Fenomena ini sering kali memicu likuidasi besar, baik dari posisi long maupun short. Dalam satu hari terakhir, total likuidasi di pasar kripto tercatat mencapai ratusan juta dolar, menandakan tingginya tekanan di pasar derivatif.
Menariknya, beberapa analis juga menyoroti kemiripan pola pergerakan Bitcoin saat ini dengan awal tahun 2025. Jika pola historis tersebut kembali terulang, pasar berpotensi mengalami fase konsolidasi lanjutan sebelum menentukan arah tren berikutnya. Dalam skenario tertentu, tidak menutup kemungkinan Bitcoin kembali menguji level harga yang lebih rendah sebelum menemukan momentum baru.
Bagi investor, kondisi ini menjadi pengingat pentingnya memahami risiko volatilitas dan pengaruh faktor makroekonomi terhadap pasar kripto. Data inflasi, kebijakan suku bunga, serta dinamika likuiditas global tetap menjadi variabel utama yang membentuk arah pergerakan Bitcoin ke depan.






