Jun 30, 2025

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Default Featured Image

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?

Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?

Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.

Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di Desktop

Di dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.

Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.

Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.

Solusi ini menunjukkan bahwa ketika Web3 dirancang untuk mobile sejak awal, adopsi bisa melesat terutama di pasar negara berkembang.

Antarmuka Pengguna Terlalu Rumit Web3 Masih Milik Mereka yang Paham Teknologi

Mari jujur: mengelola seed phrase, kunci privat, hingga dompet digital non-custodial bukanlah pengalaman yang menyenangkan untuk pengguna awam. Apalagi jika kita bandingkan dengan kenyamanan login Web2 dengan email dan satu kata sandi yang sama di mana-mana.

Tak heran jika Web3 stagnan di 220 juta alamat aktif, jauh dari miliaran pengguna internet global. Bahkan, 25% pengguna Web3 mengaku UI/UX yang rumit jadi penghalang utama. Jika Web3 ingin benar-benar inklusif, ia harus lebih sederhana, tidak menakutkan, dan cukup satu klik untuk masuk.

Rendahnya Kesadaran Global Hanya 8% Orang Tahu Apa Itu Web3

Ya, hanya 8% orang yang tahu soal Web3. Ini bukan sekadar angka rendah, ini adalah krisis eksistensial. Di daerah dengan potensi dampak Web3 paling besar—pasar berkembang tanpa akses perbankan kesadaran hampir nol.

Tapi inisiatif edukasi mulai muncul. Valora Learn & Earn, hasil kolaborasi Valora, Tether, dan Celo, telah mengaktivasi 75.000 pengguna di Nigeria, dan kini mulai menyasar Vietnam, Brasil, serta Afrika Selatan.

Modelnya sederhana: belajar lewat aplikasi mobile, dapat insentif dalam bentuk stablecoin, dan langsung merasakan manfaat nyata Web3. Edufintech bisa jadi kunci adopsi global.

Kesenjangan Digital Infrastruktur yang Tidak Siap Menampung Revolusi

Kendala akses internet adalah realitas pahit. 2,7 miliar orang masih belum punya akses internet stabil, menurut PBB. Di banyak tempat, punya ponsel tidak serta-merta berarti bisa online. Biaya perangkat dan koneksi masih tinggi.

Solusinya? Jambo, bersama Aptos Foundation, menyediakan smartphone murah yang sudah dilengkapi fitur Web3 di lebih dari 40 negara. Inilah strategi penting: bukan menunggu pengguna naik kelas digital, tapi membawa teknologi ke level mereka sekarang.

Dari Spekulasi ke Solusi: Stablecoin Jadi Bukti Nyata Kegunaan Web3

Salah satu perkembangan paling menjanjikan adalah penggunaan stablecoin untuk transaksi sehari-hari. Tak lagi sekadar alat spekulasi, stablecoin kini digunakan untuk pengiriman uang, simpanan, dan pembayaran lintas batas terutama di wilayah tanpa akses perbankan.

Dalam banyak kasus, stablecoin telah menjadi bank dalam saku bagi jutaan pengguna di negara berkembang. Dengan kestabilan nilai dan kemudahan transaksi, aset digital ini menjadi bukti nyata bahwa Web3 bisa punya dampak sosial, bukan hanya nilai kapitalisasi.

Momen Apple Web3 Akan Datang Jika Siap Menyambutnya

Web3 belum mengalami “Apple moment”-nya, dan mungkin belum dekat. Tapi fondasi sedang dibangun: desain mobile-first, edukasi kontekstual, solusi digital yang konkret, dan pemangkasan hambatan teknis.

Jika pemain besar di ekosistem ini mampu menghadirkan pengalaman Web3 yang intuitif, mobile, dan relevan dengan kebutuhan sehari-hari, bukan tidak mungkin lonceng revolusi berikutnya akan berbunyi dari tangan seseorang di Lagos, Manila, atau São Paulo dan bukan di San Francisco.

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan