Jun 30, 2025

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Default Featured Image

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.

Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.

Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. “Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan,” ujar Powell.

“Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat.”

Tarif, Inflasi, dan Kebingungan Pasar

Komentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.

Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.

Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.

Powell sendiri mengakui, “Pasar sedang berjuang menghadapi banyak ketidakpastian, dan itu artinya volatilitas.”

Namun, Powell juga menegaskan bahwa volatilitas ini bukan pertanda kerusakan sistemik. “Pasar berfungsi seperti yang diharapkan dalam kondisi seperti ini,” tambahnya, seperti mencoba menenangkan kegelisahan investor global.

Efek Domino di Sektor Teknologi

Pukulan paling awal datang dari sektor teknologi. Nvidia, produsen chip raksasa, mengungkapkan kerugian sebesar $5,5 miliar akibat pembatasan ekspor ke China. Ini seperti alarm dini bagi investor bahwa tarif bukan hanya teori ekonomi, tapi juga ancaman nyata terhadap bottom line perusahaan.

Dengan industri teknologi sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan AS, kabar buruk dari Nvidia menandakan bahwa tekanan terhadap ekonomi bisa lebih dalam dari yang dibayangkan.

Kebijakan Moneter: Menunggu dalam Ketidakpastian

Dalam pidatonya, Powell menekankan bahwa meski ekonomi AS “masih dalam posisi yang solid”, The Fed tidak akan terburu-buru menyesuaikan suku bunga. Keputusan untuk mempertahankan suku bunga bulan lalu dilakukan dengan mempertimbangkan situasi yang berkembang cepat dan tidak menentu.

“Untuk saat ini, kami berada di posisi yang baik untuk menunggu kejelasan lebih lanjut sebelum mempertimbangkan penyesuaian kebijakan,” ujar Powell. Pernyataan ini memberi sinyal bahwa langkah The Fed ke depan akan sangat bergantung pada bagaimana kondisi global dan domestik berkembang.

Mengapa Ini Penting Bagi Investor Indonesia dan Global?

Meski terlihat sebagai urusan bilateral AS-China, efek dari kebijakan ini merambat ke seluruh dunia. Ketika indeks-indeks utama AS anjlok, pasar Asia dan Eropa pun ikut bergetar. Rupiah sempat melemah terhadap dolar AS, sementara harga emas melonjak, menandakan investor mulai mencari aset aman.

Untuk investor Indonesia, volatilitas seperti ini bisa membuka peluang namun juga memunculkan risiko besar. Saham-saham berorientasi ekspor bisa terdampak, begitu juga komoditas seperti sawit dan batu bara yang berkaitan dengan permintaan dari China dan AS.

Dunia Sedang Menahan Napas

Ketegangan tarif antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia kini bukan hanya soal ekspor-impor, melainkan telah menjadi ujian besar bagi stabilitas global. Powell, dengan nada serius namun hati-hati, telah mengingatkan dunia bahwa jalan ke depan penuh kabut dan lubang jebakan.

Untuk pasar, ini bukan hanya minggu yang volatil melainkan mungkin awal dari sebuah babak baru dalam sejarah ekonomi global.

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan