Jun 30, 2025

Trump Kenakan Tarif 245% untuk China, Perang Dagang AS-China Memanas

Default Featured Image

Di tengah atmosfer global yang makin panas, Amerika Serikat kembali memperuncing tensi dagang dengan China. Kali ini, Washington tak lagi bermain setengah hati. Lewat sebuah pernyataan resmi, Gedung Putih menyatakan bahwa beberapa produk impor asal China kini menghadapi tarif gabungan hingga 245 persen angka yang, bagi pelaku pasar dan pelaku usaha, terdengar seperti lonceng peringatan akan eskalasi yang serius.

Kebijakan ini diumumkan menyusul penandatanganan perintah eksekutif oleh Presiden Donald Trump untuk membuka investigasi terhadap risiko keamanan nasional yang timbul dari ketergantungan AS terhadap mineral kritis dan turunannya yang diimpor banyak di antaranya dari China.

Apa Sebenarnya Tarif 245% Itu?

Tarif ini bukan satu jenis pajak tunggal, melainkan kombinasi dari tiga kebijakan berbeda:

1. Tarif timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 125%,
 
2. Tarif fentanyl sebesar 20%,
 
3. Tarif Section 301 yang bisa mencapai 100%, diberlakukan sejak era pemerintahan Biden, terutama terhadap produk seperti kendaraan listrik (EV).
 

Artinya, EV buatan China yang sebelumnya sudah terkena tarif tinggi kini harus menghadapi tarif total setinggi 245% jika masuk ke pasar AS. Bagi banyak eksportir China, hal ini bisa berarti matinya akses ke salah satu pasar konsumen terbesar di dunia.

“Tarif ini adalah respons atas tindakan balasan China,” kata seorang pejabat Gedung Putih kepada Newsweek. “Kami ingin memastikan bahwa rantai pasok kritis kita tidak lagi tergantung pada negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Amerika.”

Dampak Global Efek Domino ke Pasar dan Konsumen

Seperti batu yang dilempar ke kolam yang tenang, langkah ini segera menimbulkan gelombang bukan hanya di AS dan China, tetapi juga di pasar global. Kenaikan tarif berarti meningkatnya biaya produksi bagi perusahaan-perusahaan AS yang selama ini bergantung pada suku cadang dan bahan baku dari China.

Bagi konsumen, efeknya sangat nyata: harga produk elektronik, kendaraan listrik, hingga peralatan rumah tangga berpotensi melonjak. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan AS harus mencari sumber pasokan baru, sering kali dengan harga lebih mahal atau kualitas yang belum teruji.

Pasar pun bereaksi dengan kegelisahan. Bursa saham di Asia dan Eropa mulai menunjukkan volatilitas yang mencolok. Komoditas seperti logam tanah jarang (rare earths) yang digunakan dalam teknologi tinggi, pertahanan, dan aerospace mendadak jadi rebutan setelah China memperketat kontrol ekspornya sebagai bentuk balasan.

Reaksi Beijing dan Manuver Diplomatik

China, lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian, menegaskan bahwa kebijakan tarif Washington adalah bentuk agresi ekonomi. “Perang tarif ini dimulai oleh AS,” tegas Lin. “Tindakan balasan kami adalah sah dan legal, demi melindungi hak dan kepentingan kami.”

Tak tinggal diam, Beijing menunjuk Li Chenggang sebagai negosiator perdagangan yang baru seorang diplomat kawakan yang pernah mewakili China di WTO dan dikenal mendukung perdagangan bebas.

Penunjukan ini dinilai sebagai sinyal bahwa China ingin lebih aktif dalam diplomasi dagang, namun tidak akan mengalah dalam tekanan.

“Tak Ada yang Bebas dari Kewajiban”

Presiden Trump, melalui platform Truth Social, mempertegas posisinya: “Tidak ada yang bisa lolos dari ketidakseimbangan perdagangan dan hambatan non-tarif terhadap kami, terutama China.”

Trump juga menyinggung rencana pengenaan tarif tambahan terhadap rantai pasok elektronik global, termasuk semikonduktor bagian vital dari hampir semua perangkat modern. Ini menunjukkan bahwa langkah AS tak berhenti di tarif produk akhir, tetapi menjalar ke hulu rantai pasok global.

Apa Selanjutnya?

Meski retorika kedua belah pihak mengeras, baik AS maupun China masih menyatakan keterbukaan untuk berdialog. Namun, dengan tekanan yang terus meningkat, skenario saling balas tampaknya akan berlanjut.

Trump juga sedang menjajaki perjanjian dagang baru dengan setidaknya 15 negara lain, dan disebut-sebut akan menawarkan kesepakatan yang lebih menguntungkan asal negara-negara tersebut menjauh dari kerja sama dagang dengan China.

Ini berpotensi membelah peta dagang dunia ke dalam dua blok besar: pro-AS dan pro-China.

Perang Dagang Bukan Sekadar Perang Ekonomi

Tarif 245% bukan hanya soal angka. Ia adalah simbol dari pergeseran besar dalam strategi perdagangan global. AS ingin membangun kembali kemandirian industrinya, sementara China harus memutar strategi agar tetap relevan di panggung ekspor global.

Dalam pusaran ini, investor, produsen, dan konsumen di seluruh dunia menjadi bagian dari permainan tarik tambang dua kekuatan besar.

Trump Kenakan Tarif 245% untuk China, Perang Dagang AS-China Memanas
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan