Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang
Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.
Walmart (WMT.N) pada hari Rabu menegaskan kembali kepercayaannya terhadap strategi harga rendah setiap hari. Perusahaan ini tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan penjualan dan pendapatan untuk tahun penuh, sambil berkomitmen menjaga harga tetap terjangkau meskipun ada kekhawatiran soal kenaikan biaya akibat tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump.Saham Walmart, yang sempat turun hampir 9% sejak pengumuman gelombang tarif pada 2 April, berhasil pulih dan ditutup naik 9,6% pada Rabu. Kenaikan sekitar 4% terjadi setelah Trump mengumumkan jeda 90 hari untuk sebagian tarif.Dampak Tarif dan Ketergantungan pada Impor AsiaOutlook mereka lebih baik dari yang diharapkan, mengingat kondisi saat ini, ujar analis dari D.A. Davidson, Michael Baker, di sela-sela pertemuan investor Walmart di Dallas. Fakta bahwa mereka tetap mempertahankan panduan kinerja dipandang sangat positif.Sebagai importir terbesar barang dalam kontainer di AS, Walmart berpotensi terdampak langsung oleh tarif, terutama dari negara-negara Asia yang memasok berbagai produk mulai dari pakaian hingga mainan. Jeda tarif yang diumumkan Trump pada hari Rabu tidak mencakup tarif untuk China, yang menyumbang sekitar 60% dari total impor Walmart. Vietnam juga masih masuk dalam lima besar negara pemasok utama Walmart, menurut laporan Reuters pada November 2023.Fokus pada Inv
Persaingan ritel besar Amerika kembali menunjukkan jurang kinerja yang semakin lebar. Walmart (WMT) mencatat kinerja solid di kuartal pertama 2025. Sementara pesaing utamanya, Target (TGT), justru tergelincir dengan penurunan penjualan dan revisi proyeksi keuangan.Walmart mencatat kenaikan penjualan toko yang sama sebesar 4,5% year-over-year, mengalahkan estimasi market sebesar 3,85%. Sebaliknya, Target melaporkan penurunan 3,8%, jauh dari ekspektasi kenaikan 1,84%. Kinerja ini menegaskan dominasi Walmart yang terus menarik konsumen lintas segmen dengan strategi harga murah, khususnya di kategori kebutuhan pokok dan bahan makanan.Komposisi Produk Jadi Pembeda UtamaAnalis TD Cowen, Oliver Chen, menilai perbedaan struktur produk antara keduanya menjadi kunci. Sekitar 60% penjualan Walmart berasal dari kebutuhan pokok seperti bahan makanan, dengan tambahan 10% dari kesehatan dan 30% dari barang umum. Komposisi ini dinilai lebih tahan banting di tengah tekanan inflasi dan volatilitas belanja konsumen.Sementara itu, Target memiliki campuran penjualan yang lebih tersebar: 20% makanan, 10% kecantikan, 15% kebutuhan pokok, serta 20% untuk kategori rumah tangga dan barang keras. Struktur ini membuat Target kurang fleksibel dala
Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan
Dalam ekosistem Web3, desentralisasi adalah prinsip utama. Namun, ironisnya, banyak aplikasi dan layanan yang mengusung label "Web3" masih bergantung pada infrastruktur terpusat, seperti server cloud raksasa milik Amazon Web Services (AWS), Google Cloud, atau Microsoft Azure.Ketergantungan ini bertolak belakang dengan nilai inti Web3: kemandirian, ketahanan terhadap sensor, dan distribusi kekuasaan.Pertanyaannya, bisakah Web3 tetap disebut "terdesentralisasi" jika infrastrukturnya masih dikendalikan oleh segelintir perusahaan besar?Web3 Masih Terjebak dalam Jerat SentralisasiMenurut laporan terbaru, pasar open data — data terbuka yang dapat diakses oleh publik telah mencapai lebih dari $350 miliar. Sayangnya, meskipun data ini terbuka, sebagian besar masih disimpan dan dikelola oleh infrastruktur terpusat.Mengapa ini berbahaya?1. Kerentanan Sensor & Pemblokiran
* Contoh nyata terjadi pada 2022 ketika MetaMask tiba-tiba memblokir pengguna dari wilayah tertentu setelah penyedia infrastrukturnya, Infura, mengikuti sanksi AS.Padahal, MetaMask adalah dompet Web3, tetapi tetap rentan karena infrastruktur di belakangnya masih bergantung pada layanan terpusat.1. Risiko Downtime dan Serangan
* Layanan seperti Solana dan Polygon pernah mengalami gangguan karena overload pada penyedia Remote Procedure