Jun 30, 2025

Nvidia Pimpin CES 2025: Peluncuran GPU RTX 5000 dan Dominasi AI Global

Default Featured Image

Las Vegas kembali berdenyut dengan aura teknologi paling futuristik tahun ini, dan di tengah riuhnya Consumer Electronics Show (CES) 2025, semua mata tertuju pada satu sosok ikonik dengan jaket kulit legendarisnya Jensen Huang, CEO dan pendiri Nvidia.

Pada 6 Januari lalu pukul 18:30 waktu setempat, Nvidia resmi membuka panggung CES dengan keynote yang diperkirakan akan menentukan arah inovasi teknologi global sepanjang tahun ini.

Mengapa semua perhatian tertuju pada Nvidia? Jawabannya sederhana: perusahaan ini saat ini adalah pusat gravitasi dari revolusi AI global, dengan kapitalisasi pasar menembus $3,4 triliun menjadikannya salah satu perusahaan paling bernilai di dunia, sejajar dengan Apple dan Microsoft.

GPU RTX 5000 Senjata Baru di Era AI Generatif

Sorotan utama dalam keynote kali ini adalah peluncuran seri GPU RTX 5000, penerus dari lini kartu grafis yang selama ini menjadi tulang punggung perkembangan grafis tinggi dan AI generatif.

Meski detail lengkap belum diumumkan, bocoran menyebutkan bahwa RTX 5000 akan menghadirkan lompatan performa besar, efisiensi energi lebih baik, serta optimalisasi untuk pemrosesan AI dan rendering real-time fitur yang sangat dibutuhkan di dunia pengembangan konten, gaming, dan data center.

Peluncuran ini bukan hanya menarik bagi gamer dan kreator, tetapi juga perusahaan besar seperti OpenAI dan Meta, yang telah membeli chip Nvidia dalam jumlah masif. Dengan meningkatnya kebutuhan komputasi untuk model-model AI berskala besar, GPU Nvidia terutama seri H100 dan penerusnya menjadi tulang punggung infrastruktur AI dunia.

Lebih dari GPU Ambisi Nvidia di Industri Robotik dan Otomotif

Jensen Huang memanfaatkan panggung CES bukan hanya untuk menunjukkan kekuatan produknya, tetapi juga visinya. Dalam keynote, ia diperkirakan akan menyoroti ekspansi Nvidia ke sektor robotik, otomotif, dan edge computing.

Melalui platform seperti Nvidia Drive dan Isaac, Nvidia tengah menanamkan chipnya ke dalam mobil otonom dan robot cerdas, menciptakan jaringan sistem yang mampu “melihat”, “berpikir”, dan “bertindak” secara mandiri.

Dengan ekosistem AI-nya, Nvidia tidak lagi sekadar menjadi pembuat hardware, melainkan menjadi penyedia solusi AI end-to-end—dari data center hingga perangkat pintar di lapangan. Ini adalah upaya yang secara langsung menyaingi pemain seperti AMD dan Intel yang juga hadir di CES dengan produk mereka sendiri.

Rivalitas Semakin Panas Nvidia vs AMD

CES 2025 juga menyajikan duel terbuka antara Nvidia dan AMD, yang kini juga semakin agresif di bidang AI dan grafis. AMD, melalui CEO Lisa Su, juga dijadwalkan tampil dengan pengumuman produk baru, termasuk GPU dan prosesor berbasis arsitektur Zen 5.

Namun dalam konteks saat ini, Nvidia masih unggul jauh dalam hal adopsi industri. Jika AMD baru membangun fondasi, Nvidia sudah memiliki gedung pencakar langit. Itulah sebabnya keynote Nvidia menjadi momen strategis, tidak hanya sebagai ajang promosi, tetapi juga sebagai pernyataan dominasi di era AI.

Penutup: Saat Dunia Berlari dengan Silikon Nvidia

Nvidia bukan hanya mengisi headline; mereka menulis ulang aturan main industri teknologi. Dari pusat data hingga jalanan kota dengan mobil otonom, dari model AI percakapan hingga rendering film animasi, kehadiran Nvidia hampir tak terelakkan.

Dan melalui CES 2025, Jensen Huang sekali lagi menegaskan bahwa masa depan digital dibangun di atas silikon Nvidia.

Bagi investor, pengembang, maupun pegiat teknologi, momentum ini adalah panggilan untuk memperhatikan arah baru: bahwa kekuatan komputasi bukan lagi soal kecepatan semata, melainkan soal siapa yang mampu membentuk masa depan dan Nvidia saat ini tampaknya sedang duduk di kursi kemudi.

Nvidia Pimpin CES 2025: Peluncuran GPU RTX 5000 dan Dominasi AI Global
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan