Jun 30, 2025

Meta Terancam Pecah: FTC Gugat Zuckerberg atas Dugaan Monopoli Instagram & WhatsApp

Default Featured Image

Bayangkan perusahaan teknologi sebesar Meta yang menaungi Facebook, Instagram, dan WhatsApp dipaksa untuk memecah dirinya sendiri. Itu bukan plot film fiksi politik, melainkan kenyataan yang tengah bergulir di ruang sidang Amerika Serikat.

Dan yang membuat kisah ini semakin menggelegar: ada aroma politik, lobi kekuasaan, dan pertaruhan besar terhadap masa depan internet sosial global.

Monopoli dan Akuisisi Besar

Kasus yang kini memasuki meja hijau merupakan kelanjutan dari gugatan Federal Trade Commission (FTC) Amerika Serikat, yang menuduh Meta membentuk monopoli sosial melalui strategi yang secara sistematis mencekik persaingan.

Akusisi Instagram pada 2012 dan WhatsApp pada 2014 yang saat itu terlihat sebagai langkah ekspansi biasa kini dianggap sebagai tindakan predatorik untuk menyingkirkan pesaing.

Jika pengadilan memutuskan memihak pemerintah, Meta bisa dipaksa unbundling melepaskan Instagram dan WhatsApp dari portofolio perusahaannya. Ini bukan sekadar soal bisnis, ini soal arah kebijakan teknologi dunia.

Hakim Boasberg dan Ketegangan Politik

Menariknya, sidang ini tidak melibatkan juri. Hakim tunggal, James Boasberg, akan memutuskan nasib Meta. Boasberg sendiri bukan nama asing dalam kontroversi politik: ia sebelumnya menentang penggunaan Alien Enemies Act oleh Trump untuk deportasi massal warga Venezuela.

Tidak heran jika Trump menyebutnya sebagai “Radical Left Lunatic.”

Apa artinya ini? Di era ketika garis antara eksekutif dan lembaga independen makin kabur, keputusan hakim seperti Boasberg bisa menentukan arah demokrasi digital, bukan hanya masa depan Meta.

Trump, Zuckerberg, dan Politik Balas Budi?

Inilah bagian yang lebih dramatis. Mantan (dan kembali) Presiden Donald Trump diyakini memiliki pengaruh besar atas jalannya perkara ini. Ia telah memecat dua komisaris Demokrat dari FTC secara kontroversial, yang kini tengah menggugat balik.

Sementara itu, Mark Zuckerberg terlihat aktif menjalin hubungan baik dengan Trump dari makan malam pribadi hingga menyusun ulang kebijakan Meta agar lebih “ramah MAGA.” Bahkan, perubahan algoritma dan kebijakan konten di Facebook pasca-pemilu 2024 dinilai sebagai bagian dari strategi merayu Trump.

Zuckerberg mengatakan kepada karyawannya bahwa Meta kini punya “peluang untuk membangun kemitraan produktif dengan pemerintah AS.” Tapi di balik kata-kata itu, tersirat kegentingan luar biasa karena jika gagal, ia bisa kehilangan dua aset digital paling bernilai di dunia.

China, AI, dan Geopolitik Teknologi

Meta membingkai pertarungan ini sebagai lebih dari sekadar kasus hukum. Perusahaan ini menekankan bahwa TikTok yang dimiliki China adalah lawan nyata mereka, dan memecah Meta hanya akan melemahkan posisi AS dalam persaingan global, terutama dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI).

“Regulator seharusnya mendukung inovasi Amerika, bukan justru memberatkan perusahaan dalam negeri,” tegas juru bicara Meta.

Poin ini penting, karena di tengah kecemasan global terhadap dominasi teknologi China, siapa yang mengendalikan jaringan sosial dan AI menjadi persoalan geopolitik, bukan hanya korporasi.

Apa yang Bisa Terjadi Selanjutnya?

Hakim Boasberg akan memimpin sidang selama beberapa minggu ke depan, dan keputusannya dapat menjadi preseden monumental. Jika Meta kalah, ini akan menjadi pemecahan perusahaan teknologi besar pertama sejak AT&T di tahun 1984 dan bisa membuka pintu bagi gugatan serupa terhadap Amazon, Apple, hingga Google.

Namun, jika Trump campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, maka integritas hukum persaingan AS akan diuji di hadapan dunia.

Satu hal pasti: sidang ini bukan hanya tentang Meta. Ini tentang batas kekuasaan korporasi, moralitas politik, dan masa depan ekosistem digital global. Dan kita semua, sebagai pengguna dan warga dunia digital, adalah bagian dari cerita ini.

Meta Terancam Pecah: FTC Gugat Zuckerberg atas Dugaan Monopoli Instagram & WhatsApp
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan