Royal Dutch Shell kembali membuktikan dirinya sebagai raksasa energi yang tahu cara bertahan, bahkan ketika kondisi pasar sedang tidak bersahabat. Di tengah jatuhnya harga minyak, penurunan tajam pada hasil perdagangan gas, serta tekanan dari kerugian kimia akibat gangguan operasional, Shell tetap berhasil melampaui ekspektasi analis pada kuartal kedua 2025.
Laba bersih yang disesuaikan mencapai $4,26 miliar, jauh di atas estimasi konsensus sebesar $3,74 miliar, meskipun secara tahunan angka itu merosot 32%. Investor bereaksi positif saham Shell naik sekitar 1,3% pada Kamis sore waktu London, mengungguli indeks energi Eropa yang cenderung datar.
Dari Krisis ke Konsistensi: Strategi Shell yang “Berani Tapi Hati-Hati”
Shell tidak sedang dalam mode ekspansi agresif, tapi juga tidak menutup diri dari peluang. CEO Wael Sawan menggambarkan pendekatan kuartal ini sebagai “risk-off” artinya, Shell memilih untuk mengurangi eksposur pada perdagangan minyak karena volatilitas harga yang tidak didukung oleh fundamental permintaan dan pasokan.
Sebuah strategi konservatif yang mungkin membuat Shell kehilangan sebagian potensi profit jangka pendek, namun dinilai sebagai langkah bijak di tengah ketidakpastian global.
Sebaliknya, unit pemasaran Shell, yang mencakup SPBU dan layanan pengisian daya listrik, justru menorehkan kinerja terbaik dalam hampir satu dekade. Ini menunjukkan pergeseran nilai dalam struktur bisnis energi dari eksplorasi besar-besaran ke efisiensi distribusi dan layanan pelanggan.
Kimia yang Menyakitkan dan Kutukan Pabrik Monaca
Salah satu titik gelap dalam laporan ini adalah divisi bahan kimia Shell, yang mengalami kerugian akibat gangguan pada pabrik polimer Monaca di AS. Kondisi pasar kimia global memang sedang sulit: margin menyempit, permintaan stagnan, dan persaingan dari produsen Asia semakin tajam.
Sinead Gorman, CFO Shell, bahkan mengungkapkan simpati pada industri ini dengan nada jujur: “Goodness, I feel sorry for the chemical industry. It’s a tough one.”
Shell kini sedang mempertimbangkan opsi penjualan atau pencarian mitra strategis untuk beberapa aset kimianya. Langkah ini bisa menjadi bagian dari rencana restrukturisasi jangka panjang sekaligus sinyal bahwa perusahaan mulai fokus pada lini bisnis yang lebih tahan banting.
Disiplin Finansial: Buyback Konsisten, Dividen Stabil
Di luar operasional, Shell tetap disiplin secara finansial. Program pembelian kembali saham sebesar $3,5 miliar tetap berjalan, menjadikannya kuartal ke-15 berturut-turut di mana buyback minimal $3 miliar dilakukan.
Ini adalah pesan langsung kepada investor: kami tidak hanya bertahan, kami tetap memberi.
Ditambah lagi, dividen senilai $2,1 miliar membawa total distribusi kepada pemegang saham dalam empat kuartal terakhir menjadi 46% dari arus kas operasi tepat di dalam panduan manajemen (40–50%).
Dalam dunia energi yang sangat siklikal, komitmen seperti ini menjadi aset reputasi tersendiri.
Pasar LNG & Minyak: Apa yang Sedang Terjadi?
Harga Brent crude turun signifikan menjadi rata-rata $67 per barel sepanjang kuartal April–Juni, dibandingkan $75 di Q1 dan $85 setahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi setelah OPEC+ mulai melepas pembatasan produksi secara bertahap.
Lonjakan harga hanya terjadi sesaat saat konflik antara Iran dan Israel memanas pada Juni lalu.
Untuk pasar LNG, Asia menunjukkan permintaan yang lesu di paruh pertama tahun ini, memberikan ruang bagi Eropa untuk mengisi ulang cadangan gas. Namun, baik Gorman maupun Sawan memperkirakan pasar LNG akan kembali mengetat setelah musim panas, meski tak akan sevolatile beberapa tahun sebelumnya.
Bertahan Bukan Sekadar Survive, Tapi Menang Strategi
Shell memang mencatat penurunan laba, tapi sorotan sesungguhnya ada pada bagaimana perusahaan menavigasi pasar yang brutal dengan strategi seimbang antara kehati-hatian dan keberanian.
Dengan tetap menjaga pengembalian kepada pemegang saham, memotong biaya hingga $3,9 miliar dibandingkan 2022, dan memperkuat lini bisnis yang terbukti tangguh, Shell sedang membangun kembali kekuatannya untuk menghadapi gelombang energi berikutnya.
Dan di tengah transisi global menuju energi hijau, tetap menarik untuk melihat bagaimana perusahaan minyak terbesar di dunia menata ulang dirinya bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menang.