Jun 30, 2025

Korporasi Jadi Raja Pembeli Bitcoin 2025, Retail Malah Lepas Aset

Default Featured Image

Dunia keuangan kripto sedang mengalami perubahan dramatis dalam pola kepemilikan Bitcoin. Di tahun ini, bukan lagi investor ritel atau ETF yang paling agresif menumpuk BTC. Sebaliknya, para pemain korporat tampil sebagai pembeli terbesar.

Menurut laporan terbaru dari River, sebuah perusahaan investasi Bitcoin, korporasi telah menambah kepemilikan mereka sebesar 157.000 BTC sejak awal 2025. Nilai itu setara dengan sekitar $16 miliar pada harga saat ini.

Fakta mengejutkan lainnya: hampir 77% dari pertumbuhan itu berasal dari MicroStrategy, perusahaan pimpinan Michael Saylor yang kini makin dikenal sebagai “pangeran Bitcoin korporasi.”

Dan Saylor tampaknya tidak main-main. Dalam satu gerakan besar, MicroStrategy membeli 13.390 BTC senilai $1,34 miliar, mengukuhkan posisinya sebagai perusahaan publik dengan kepemilikan Bitcoin terbesar di dunia.

Namun bukan hanya raksasa teknologi atau investasi yang terjun. Perusahaan dari berbagai sektor mulai dari kesehatan, energi, pertanian, hingga platform streaming video seperti Rumble kini mulai menempatkan Bitcoin dalam neraca keuangan mereka.

Bahkan, sebuah perusahaan konstruksi asal Hong Kong, Ming Shing, ikut dalam gelombang ini. Sementara Metaplanet, perusahaan Jepang, kini menyimpan lebih banyak BTC daripada negara El Salvador.

Mengapa Korporasi Kini Lebih Agresif daripada ETF atau Investor Ritel?

ETF Bitcoin memang sempat mencuri perhatian dengan peluncuran berbagai produk di AS dan Eropa. Tapi hingga saat ini, pertumbuhan bersih kepemilikan ETF hanya sekitar 49.000 BTC atau sekitar $5 miliar jauh di bawah angka yang dicatat para korporat.

Yang lebih menarik lagi, investor ritel justru mencatat penurunan drastis. River melaporkan bahwa investor individu telah melepas sekitar 247.000 BTC sepanjang 2025. Penurunan ini bisa diartikan sebagai realokasi aset, hilangnya keyakinan jangka pendek, atau bahkan tekanan ekonomi mikro.

Bitcoin dan Paradoks Deflasi Strategi vs. Miner

Satu fakta menarik lainnya: strategi akumulasi MicroStrategy melampaui laju produksi Bitcoin oleh para miner, yang saat ini hanya mampu menghasilkan sekitar 450 BTC per hari. Hal ini menciptakan fenomena baru yang disebut oleh analis sebagai “synthetic halving”.

Ki Young Ju, CEO CryptoQuant, menyebut bahwa strategi semacam ini menciptakan tekanan deflasi sebesar -2,3% per tahun, yang sangat langka dalam konteks aset digital dengan suplai terbatas.

Artinya, selama permintaan tinggi tetap terjadi, harga Bitcoin bisa mengalami tekanan naik yang konstan hanya karena kelangkaan pasokan.

Dampak dan Implikasi Jangka Panjang

Pertumbuhan kepemilikan korporasi sebesar 154% sejak awal tahun menandakan bahwa Bitcoin tak lagi dilihat sekadar sebagai aset spekulatif. Dalam perspektif bisnis, BTC mulai berfungsi sebagai:

* Lindung nilai terhadap inflasi fiat
 
* Cadangan strategis perusahaan multinasional
 
* Aset treasury jangka panjang yang melampaui emas dalam keluwesan dan likuiditas

Dengan semakin banyak perusahaan masuk dan membeli dalam jumlah besar, satu pertanyaan besar mengemuka: Apakah ini era baru Bitcoin sebagai aset institusional penuh? Jika ya, investor ritel perlu bersiap dengan strategi baru karena lanskap kepemilikan sudah berubah.

Bitcoin Kini Milik Mereka yang Punya Neraca Besar

Masuknya puluhan korporasi baru ke pasar Bitcoin sepanjang kuartal pertama 2025 bukan hanya tren sementara. Ini adalah sinyal kuat bahwa Bitcoin telah naik kelas, dari sekadar aset investasi alternatif menjadi komponen utama dalam strategi keuangan perusahaan global.

Dan jika pola ini berlanjut, masa depan BTC mungkin akan dikendalikan oleh neraca raksasa dan strategi jangka panjang para korporasi bukan lagi keputusan impulsif para investor ritel.

Satu hal yang pasti: bila Anda adalah investor individu, sekarang waktunya untuk berpikir ulang apakah siap bersaing dengan strategi akumulasi berskala miliaran dolar?

Korporasi Jadi Raja Pembeli Bitcoin 2025, Retail Malah Lepas Aset
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan