Jun 30, 2025

Ketidakpastian Ekonomi Meningkat, Fed Belum Siap Pangkas Suku Bunga

Default Featured Image

Pasar keuangan global tengah diselimuti awan ketidakpastian, dan Federal Reserve Amerika Serikat kembali menjadi pusat perhatian. Presiden Federal Reserve Boston, Susan Collins, menyampaikan pandangan yang mengejutkan sekaligus menegangkan: suku bunga kemungkinan akan bertahan lebih lama dari yang diperkirakan, dan pemangkasan baru mungkin bisa dipertimbangkan pada akhir tahun 2025 bukan pertengahan tahun sebagaimana harapan para pelaku pasar.

Collins, dalam wawancaranya bersama Yahoo Finance, tidak hanya mengubah nada bicara, tetapi juga menandai perubahan strategi kebijakan moneter AS yang makin mengarah pada kehati-hatian.

Penyebabnya? Inflasi yang kembali menggeliat, dan tak kalah penting efek domino dari tarif-tarif perdagangan baru yang digaungkan oleh Presiden Trump.

“Saya memperkirakan kami harus menahan (suku bunga) lebih lama dibandingkan sebelumnya,” kata Collins, seraya menambahkan bahwa pemangkasan mungkin akan “masih sesuai” jika data ekonomi mendukung di akhir tahun.

Ekspektasi Pasar dan Kenyataan

Banyak trader sebelumnya bertaruh bahwa The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada bulan Juni 2025. Namun, pernyataan Collins ditambah komentar serupa dari beberapa pejabat Fed lain pekan ini membuat ekspektasi tersebut semakin goyah.

Bagi sebagian investor, ini bisa menjadi sinyal untuk menyesuaikan kembali portofolio mereka, khususnya dalam instrumen obligasi dan sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga seperti properti dan teknologi.

Ketidakpastian ini juga tercermin dalam pasar obligasi pemerintah AS. Imbal hasil (yield) Treasury terus berfluktuasi tajam dalam beberapa pekan terakhir, menimbulkan kekhawatiran soal kestabilan pasar.

Collins menegaskan bahwa pasar masih “berfungsi dengan baik” dan likuiditas tetap terjaga, namun ia juga membuka kemungkinan intervensi bila diperlukan.

Ancaman Tarif dan Bayang-Bayang Inflasi

Yang paling mencolok dari pernyataan Collins adalah pengakuannya soal tarif baru Trump yang mulai menggerus stabilitas harga. Menurutnya, jika tarif tersebut terus dipertahankan, inflasi bisa kembali menembus angka 3% atau lebih.

Bahkan, data terbaru dari University of Michigan menunjukkan ekspektasi inflasi konsumen untuk satu tahun ke depan melonjak drastis menjadi 6,7% tertinggi sejak 1981. Ini bukan alarm kecil, melainkan sirine yang menggema ke seluruh sektor bisnis.

Kondisi ini diperparah oleh sikap bisnis di wilayah Boston yang diwakili oleh Collins. Banyak perusahaan memilih strategi “tunggu dan lihat” sebelum merespons tarif, menunda keputusan harga dan investasi.

Siklus ini menciptakan ketegangan tambahan pada roda ekonomi yang sudah melambat.

“Saya mendengar dari banyak perusahaan bahwa mereka tidak bisa langsung menyesuaikan harga. Butuh waktu untuk memahami dampak tarif terhadap rantai pasokan mereka,” ujar Collins.

Keseimbangan yang Sulit: Menjaga Kredibilitas dan Stabilitas

Collins juga menekankan pentingnya menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang tetap terkendali. “Salah satu aset terpenting Federal Reserve adalah kredibilitasnya,” katanya. Kredibilitas inilah yang menjadi jangkar bagi kepercayaan pasar bahwa The Fed mampu menstabilkan harga dalam jangka panjang.

Langkah terbaru Fed untuk memperlambat pengurangan portofolio obligasi Treasury, dari $25 miliar menjadi hanya $5 miliar per bulan, dianggap sebagai strategi untuk mencegah kepanikan pasar sekaligus menjaga keseimbangan antara pengetatan moneter dan stabilitas keuangan.

Apa Artinya untuk Investor dan Dunia?

1. Pasar saham dan obligasi kemungkinan akan tetap volatile setidaknya sampai ada kepastian arah kebijakan suku bunga.

 
2. Dolar AS bisa tetap kuat dalam jangka pendek karena ekspektasi suku bunga tinggi yang berkepanjangan.

 
3. Emas dan aset lindung nilai bisa jadi pilihan menarik, terutama jika ekspektasi inflasi terus meningkat.

 
4. Investor global dan negara-negara berkembang perlu bersiap menghadapi efek spillover dari ketatnya likuiditas dolar.

Dengan nada lebih hati-hati dari sebelumnya, Susan Collins memberikan pesan yang jelas namun berat: “Kami belum selesai.” Kenaikan harga, tekanan tarif, dan ketidakpastian ekonomi membuat Federal Reserve memilih bersabar.

Pemangkasan suku bunga masih mungkin, tapi hanya jika langit mulai cerah kembali. Sampai saat itu tiba, kita semua, baik investor, konsumen, maupun pelaku usaha, perlu menyiapkan diri menghadapi perjalanan ekonomi yang masih penuh rintangan.

Ketidakpastian Ekonomi Meningkat, Fed Belum Siap Pangkas Suku Bunga
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan