Jun 30, 2025

Harga Tembaga Melejit, AS Hadapi Krisis Baru Jelang Tarif Impor

Default Featured Image

Di tengah hiruk pikuk kampanye dan retorika proteksionis, Amerika Serikat tengah mengalami “demam tembaga” bukan karena spekulasi semata, tapi karena realitas baru: gelombang besar impor tembaga membanjiri pelabuhan-pelabuhan AS jelang ancaman tarif impor dari mantan Presiden Donald Trump.

Harga tembaga melonjak tajam pada awal pekan ini, mencerminkan ketegangan pasar menjelang batas waktu 2 April, di mana tarif baru kemungkinan diberlakukan terhadap logam dasar termasuk tembaga.

Volume impor yang biasanya berkisar 70.000 ton per bulan kini meledak menjadi 500.000 ton, menurut laporan Mercuria yang dikutip Bloomberg. Ini bukan sekadar lonjakan pasokan ini strategi bertahan hidup pasar sebelum badai tarif menghantam.

Lonjakan Harga dan Strategi Panik

Harga kontrak tiga bulan untuk tembaga di London Metal Exchange (LME) menembus $9.925 per ton, hampir mencapai batas psikologis $10.000. Di pasar New York (Comex), harga naik 1,4%, bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi sebelum akhirnya terkoreksi.

Sejak Januari, harga tembaga Comex terus menyalip harga internasional sebagai respons atas spekulasi tarif baru.

Yang lebih mencemaskan, kesenjangan harga antara Comex dan LME mencapai $1.400 per ton, rekor baru yang mencerminkan ketegangan pasar domestik AS.

Dari Washington ke Dunia: Efek Domino Global

Langkah ini bukan hanya berdampak pada pelaku industri logam di AS. Jika tarif diberlakukan, dunia akan ikut terguncang. Berikut dampak strategisnya:

* Inflasi Domestik Meningkat: Harga tembaga yang tinggi akan menaikkan biaya produksi untuk industri kendaraan listrik, konstruksi, hingga elektronik. Ini berarti harga barang bisa ikut naik di tengah tekanan biaya hidup yang sudah tinggi.

 
* Pergeseran Rantai Pasok Global: China, konsumen tembaga terbesar dunia, bisa mengalami kekurangan pasokan karena gelombang pengalihan tembaga ke AS. Ini dapat menekan manufaktur dan mengganggu produksi teknologi global.

 
* Boom Industri Tambang AS: Pemerintah AS menggunakan peluang ini untuk mendorong produksi lokal. Rio Tinto, misalnya, tengah menggenjot investasi di tambang Kennecott (Utah) dan proyek Resolution (Arizona) usai Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mempercepat perizinan mineral.

 
* Spekulasi Investasi Baru: Banyak perusahaan kini berlomba mengamankan pasokan tembaga lebih awal, bahkan mempertimbangkan substitusi material untuk menghindari fluktuasi harga jangka pendek.

 

Realitas Baru Dunia Butuh Lebih Banyak Tembaga

Permintaan tembaga tidak akan berhenti dalam waktu dekat. IEA memproyeksikan permintaan tembaga untuk energi bersih seperti EV dan energi terbarukan akan melonjak dari 5.380 kiloton (kt) pada 2021 menjadi 16.343 kt pada 2040.

Sementara itu, kebutuhan tradisional (konstruksi, kabel listrik) tetap stabil, membawa total permintaan ke lebih dari 36 juta ton per tahun.

Namun sisi pasokan justru melemah. Grade bijih tembaga global telah turun 40% sejak 1991, menurut BHP, yang menyebut bahwa separuh tambang dunia akan mengalami penurunan produktivitas dalam dekade ini.

Untuk memenuhi permintaan masa depan, dunia perlu investasi baru sebesar $250 miliar.

Bahkan, Chief Commercial Officer BHP, Rag Udd, memperkirakan permintaan tembaga global akan meningkat 70% hingga 2050, mencapai 50 juta ton per tahun. Dari pusat data AI hingga transisi energi bersih, semua bergantung pada logam merah ini.

Tarif Trump Alat Politik atau Strategi Industri?

Tarif yang diusulkan adalah bagian dari investigasi Departemen Perdagangan AS yang diluncurkan awal tahun ini. Trump yang tengah merintis pencalonan presiden lagi—menggunakan isu ini untuk menunjukkan ketegasannya dalam melindungi industri dalam negeri.

Namun, para analis memperingatkan: tarif bisa mendorong inflasi dan memperburuk hubungan dagang dengan negara eksportir seperti Chile, Peru, dan bahkan Kanada.

Nick Snowdon dari Mercuria menyebut fenomena ini sebagai “guncangan tersembunyi” yang belum sepenuhnya dihargai oleh pasar global. Ketika pelaku industri fokus pada pasokan jangka pendek, dunia sedang bergeser ke paradigma baru: era di mana logam seperti tembaga tak lagi hanya komoditas, tapi strategic asset dalam geopolitik dan teknologi global.

Tarif mungkin baru akan diumumkan secara resmi pada awal April, tapi getarannya sudah terasa hari ini. Pasar panik, industri bersiap, dan investor berebut posisi. Di tengah itu semua, satu hal jadi semakin jelas: tembaga adalah oksigen ekonomi masa depan dan dunia tak bisa hidup tanpanya.

Jika AS memutuskan untuk memagari logam merah ini dengan tarif, maka bukan hanya harga yang akan naik. Tapi juga ketegangan geopolitik, prioritas investasi global, dan arah transisi energi dunia.

Harga Tembaga Melejit, AS Hadapi Krisis Baru Jelang Tarif Impor
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan