Jun 30, 2025

Harga Minyak Anjlok, Terendah Sejak Pandemi Akibat Kekhawatiran Resesi

Default Featured Image

Harga minyak menyentuh level terendah sejak masa pandemi pada hari Senin, di tengah kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global yang mengaburkan prospek permintaan energi, sementara pasokan dunia justru diperkirakan akan meningkat.

Harga minyak mentah terus melanjutkan tren penurunan sejak pekan lalu. Brent crude, sebagai acuan internasional, turun hingga 5% dari penutupan hari Jumat dan sempat menyentuh level $62 per barel. West Texas Intermediate (WTI) juga anjlok 5%, diperdagangkan serendah $59 per barel pertama kalinya WTI turun di bawah $60 sejak tahun 2021.

Saham Perusahaan Energi Tertekan

Saham-saham perusahaan minyak juga ikut terpukul seiring dengan penurunan pasar saham secara keseluruhan. Saham Exxon Mobil turun hampir 2% pada perdagangan sore hari, dan tercatat sudah merosot 13% sejak Trump mengumumkan tarif baru pekan lalu. 

Saham Chevron juga melemah sekitar 2% hari itu, dengan total penurunan mencapai 15% sejak pengumuman “Liberation Day” oleh Trump. Sementara itu, saham Shell turun hampir 3% pada akhir sesi perdagangan hari Senin, dengan penurunan total sebesar 14% sejak Rabu lalu.

Kekhawatiran Resesi Tekan Harga Minyak

Tekanan pada harga minyak juga dipicu oleh kekhawatiran bahwa kebijakan tarif Trump bisa memperlemah ekonomi dan meningkatkan risiko resesi tahun ini, yang pada akhirnya akan mengurangi permintaan terhadap komoditas energi.

Goldman Sachs menaikkan peluang terjadinya resesi menjadi 45% minggu ini, dengan menyebut tarif sebagai penyebab utama. JPMorgan juga memperkirakan peluang resesi naik menjadi 60% pekan lalu akibat ketegangan perdagangan yang semakin memanas.

Pasokan Bertambah, Tekanan Meningkat

Prediksi peningkatan pasokan turut memperburuk tekanan pada harga minyak. Harga minyak turun lebih dari 7% pada hari Kamis lalu setelah OPEC+ mengumumkan akan meningkatkan produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai bulan depan.

> “Sejak Presiden Trump mengumumkan tarif baru pada Rabu malam, harga minyak mentah terus terjun bebas,” tulis David Morrison, analis pasar senior di Trade Nation, dalam catatannya hari Minggu. Ia juga menambahkan bahwa peningkatan produksi dari OPEC+ menjadi “pukulan ganda” bagi pasar minyak.

“Namun sekarang kemungkinan besar harga minyak akan menetap dalam kisaran yang terbatas, dengan potensi kenaikan yang minim. Para investor mulai mempersiapkan diri menghadapi perlambatan ekonomi, di mana permintaan menurun sementara pasokan melimpah. Di sisi lain, inilah yang sebenarnya diinginkan Presiden Trump: energi yang murah dan berlimpah untuk mendorong kebangkitan kembali sektor manufaktur dan industri di AS,” tambahnya.

Harga Minyak Anjlok, Terendah Sejak Pandemi Akibat Kekhawatiran Resesi
by Rian Jakawardana


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan