Senin pagi di pasar Asia, harga emas tampak enggan turun dari puncaknya. Setelah lonjakan paling tajam dalam dua bulan terakhir pada Jumat, logam mulia ini kini menjadi pusat perhatian pelaku pasar global.
Bukan tanpa sebab kombinasi data tenaga kerja AS yang mengecewakan dan langkah proteksionis Presiden Donald Trump membuat investor kembali memburu aset aman.
Data Tenaga Kerja: Sinyal Merah dari Ekonomi AS?
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan penambahan hanya 73.000 pekerjaan pada Juli, jauh di bawah ekspektasi analis. Lebih mengejutkan lagi, revisi dua bulan sebelumnya menunjukkan pemangkasan sekitar 260.000 pekerjaan, yang memperkuat kekhawatiran bahwa mesin ekonomi terbesar dunia sedang melambat.
Kondisi ini langsung mendorong ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve. Pasar obligasi pun bereaksi cepat, dengan yield Treasury AS jangka pendek turun tajam, menandakan keyakinan bahwa The Fed akan lebih lunak dalam waktu dekat.
Ini menjadi kabar baik bagi emas, karena suku bunga yang lebih rendah berarti biaya peluang untuk menyimpan emas jadi lebih kecil.
Trump dan Tarif: Deja Vu Era 1930-an?
Di luar data ekonomi, Donald Trump kembali mengguncang pasar dengan mengumumkan tarif impor baru yang disebut-sebut sebagai salah satu yang paling ekstrem sejak era Depresi Besar.
Tanpa banyak peringatan, Trump memberlakukan gelombang tarif terhadap produk-produk dari mitra dagang utama AS, terutama Tiongkok dan Meksiko.
Langkah ini mengingatkan pada kebijakan tarif Smoot-Hawley pada 1930-an, yang kala itu justru memperparah krisis global. Kini, ketidakpastian perdagangan yang meningkat membuat pelaku pasar semakin enggan mengambil risiko, dan beralih ke safe haven seperti emas dan perak.
Harga Emas, Dolar, dan Logam Lain
Pada pukul 13:15 waktu Singapura, harga emas diperdagangkan di kisaran $3.359,81 per ons, hanya sedikit melemah 0,1% setelah naik 2,2% di sesi sebelumnya. Indeks Dolar Bloomberg juga turun 0,1%, menambah sentimen positif untuk harga emas.
Sementara itu, perak naik tipis 0,2%, sementara palladium dan platinum justru melemah, mencerminkan sentimen selektif investor terhadap logam mulia yang berperan dalam industri.
Apakah Kenaikan Ini Berkelanjutan?
Selama 2025, harga emas telah naik lebih dari 25%, didorong oleh kombinasi ketegangan geopolitik, ketidakpastian kebijakan Trump, dan pembelian besar-besaran oleh bank sentral negara berkembang.
Misalnya, Bank Sentral Tiongkok dan Rusia terus menambah cadangan emas mereka sebagai diversifikasi dari dominasi dolar AS.
Analis dari berbagai institusi keuangan terkemuka, termasuk JPMorgan dan UBS, memproyeksikan harga emas bisa menembus $3.500 per ons dalam beberapa bulan ke depan, terutama jika The Fed benar-benar memangkas suku bunga secara agresif dan Trump melanjutkan kebijakan proteksionisnya.
Risiko Meningkat, Emas Bersinar
Pasar saat ini menghadapi campuran berbahaya: ekonomi AS yang goyah, kebijakan proteksionis yang agresif, dan arah suku bunga yang tak pasti. Di tengah semua itu, emas kembali membuktikan dirinya sebagai pelindung nilai yang andal.
Namun, bagi investor, ini juga menjadi pengingat bahwa di balik setiap lonjakan harga, selalu tersembunyi ketidakpastian yang lebih besar.
Apakah ini waktunya masuk ke pasar emas, atau justru saat yang tepat untuk waspada terhadap potensi koreksi mendadak?
Itu pertanyaan yang kini menghantui para manajer portofolio di seluruh dunia.