Jun 30, 2025

Bitcoin Tetap Jadi Lindung Nilai Inflasi Global, Meski Sering Disalahpahami

Default Featured Image

Dalam gelombang pasang inflasi global dari dapur-dapur rumah tangga Eropa hingga jalan-jalan di Caracas satu aset digital terus dibicarakan, dicintai, dicaci, namun tak pernah benar-benar ditinggalkan: Bitcoin.

Dikritik karena volatilitasnya, diragukan karena tidak selalu naik saat inflasi melonjak, namun diam-diam tetap menjadi benteng nilai bagi jutaan orang. Dalam sebuah opini mendalam oleh Jupiter Zheng, Partner di Liquid Fund, HashKey Capital, muncul argumen yang merobek narasi umum: Bitcoin bukan gagal sebagai lindung nilai inflasi, melainkan kita yang salah memahami waktunya bekerja.

Ketika Emas Naik, Kenapa Bitcoin Tidak?

Pertanyaan yang terus diulang oleh para pengkritik adalah sederhana: Jika Bitcoin benar-benar lindung nilai inflasi, mengapa harganya tidak selalu naik ketika inflasi meningkat? Terutama saat emas aset tradisional pelindung nilai mencetak rekor harga tertinggi.

Namun seperti disampaikan oleh Zheng, pendekatan jangka pendek inilah yang menyesatkan. Bitcoin, seperti emas, tidak didesain untuk bereaksi secara instan. Ia bekerja dalam kurun panjang, sebagai pelindung nilai terhadap sistem yang tergerus perlahan oleh inflasi, pencetakan uang, dan krisis kepercayaan pada institusi.

Kekuatan di Balik Keterbatasan 21 Juta Alasan

Salah satu argumen terkuat dalam narasi Bitcoin sebagai hedge adalah kelangkaannya. Dengan pasokan maksimum hanya 21 juta koin tanpa opsi “print more” seperti fiat Bitcoin menawarkan struktur nilai yang lebih bisa diprediksi dan tahan manipulasi.

Ini bukan teori kosong. Selama era pandemi dan pelonggaran kuantitatif besar-besaran, Bitcoin secara historis mengungguli emas dalam periode tertentu.

Bitcoin juga tidak dikendalikan bank sentral atau pemerintah. Ia tidak tunduk pada siklus politik atau suku bunga. Di negara-negara dengan kegagalan moneter seperti Venezuela, Argentina, Zimbabwe, hingga Lebanon, Bitcoin bukan hanya lindung nilai ia adalah jalan keluar.

Konsensus vs Sentralisasi

Berbeda dengan sistem keuangan tradisional yang berpusat pada otoritas, Bitcoin hidup dari konsensus matematis, bukan keputusan dewan direksi. Ketika kepercayaan publik pada institusi melemah, kepercayaan pada sistem seperti Bitcoin justru tumbuh.

Ini adalah sistem yang tahan sensor, tanpa jam kerja, dan tak bisa dimatikan oleh satu negara atau entitas.

“Bitcoin berjalan berdasarkan konsensus, bukan komando,” tulis Zheng.

Portabilitas Aset yang Tak Bisa Dikunci

Keunggulan lain yang sering diabaikan adalah portabilitas. Dalam krisis finansial seperti keruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret 2023, Bitcoin melonjak 23% dalam hitungan hari.

Ketika bank tutup dan akses dana dibekukan, Bitcoin tetap bisa diakses selama pengguna memegang kunci pribadi.

Sementara sistem seperti SWIFT atau Visa bisa dihentikan oleh regulator atau menjadi target serangan siber, Bitcoin tidak memiliki titik pusat kegagalan. Transaksinya diverifikasi oleh jaringan miner terdistribusi di seluruh dunia.

Dalam kondisi darurat, akses langsung ke aset bisa menjadi perbedaan antara bertahan hidup atau tenggelam.

Istilah Baru Speculative Hedge

Apakah Bitcoin sempurna? Tentu tidak. Masih ada tantangan besar: volatilitas harga, akses internet, edukasi pengguna, hingga ketergantungan pada infrastruktur teknologi. Namun dalam lanskap ekonomi modern, Zheng menyarankan istilah yang lebih akurat untuk Bitcoin: speculative hedge.

Artinya, Bitcoin adalah lindung nilai yang bekerja bukan karena kestabilannya, tetapi karena sifat-sifat uniknya: terbatas, terdesentralisasi, dan tak bisa disita.

Beberapa perusahaan besar seperti MicroStrategy, Block, dan MassMutual sudah menaruh Bitcoin di neraca mereka sebagai strategi lindung nilai korporat. Diperkirakan 1 dari 4 perusahaan di indeks S&P 500 akan melakukan hal serupa pada 2030.

Bahkan beberapa pemerintah mulai mempertimbangkan Bitcoin sebagai cadangan devisa alternatif.

Bitcoin, Bukan Solusi Sempurna Tapi Pelampung yang Siap Pakai

Bitcoin bukan jaminan kekayaan. Tapi dalam dunia yang makin tidak pasti, ia bisa menjadi pelampung finansial alat bertahan ketika kapal besar ekonomi mulai retak.

Di saat semua institusi gagal, dan kepercayaan publik berada di titik nadir, aset seperti Bitcoin menawarkan satu hal yang tak bisa dijanjikan fiat atau emas sekalipun: kemandirian total.

Dan seperti semua pelampung, mungkin kamu tak menganggapnya penting sampai kamu benar-benar membutuhkannya.

Bitcoin Tetap Jadi Lindung Nilai Inflasi Global, Meski Sering Disalahpahami
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan