Jun 30, 2025

Bhutan Bertaruh pada Bitcoin dan Energi Hijau untuk Selamatkan Masa Depan Ekonominya

Default Featured Image

Di balik pegunungan Himalaya yang sunyi, tersimpan sebuah ambisi besar. Kerajaan Bhutan, negara mungil dengan penduduk kurang dari satu juta jiwa, mulai membangun ulang strategi ekonominya.

Dan mengejutkannya, di jantung strategi tersebut berdiri sesuatu yang tak biasa untuk negara konservatif: Bitcoin.

Melalui Druk Holdings and Investments (DHI) lembaga investasi milik negara Bhutan mengintegrasikan penambangan Bitcoin bertenaga hydropower sebagai bagian dari portofolio ekonominya yang kini bernilai $3 miliar.

Bagi dunia luar, ini terdengar seperti eksperimen berisiko. Tapi bagi Bhutan, ini adalah pilihan strategis: rendah karbon, efisien energi, dan bernilai tinggi.

Dari “Kebahagiaan” ke Kemandirian Ekonomi

Selama bertahun-tahun, Bhutan dikenal dengan paradigma “Gross National Happiness” (GNH) indeks kesejahteraan yang menempatkan kualitas hidup di atas pertumbuhan ekonomi semata. Tapi kini, realitas ekonomi global menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar filosofi.

* GNH naik dari 0,743 pada 2010 ke 0,781 pada 2022,
 
* GDP per kapita hanya tumbuh dari $2.435 ke $3.711
 
* Lebih dari 13.500 warga pindah ke Australia hanya dalam satu tahun, menciptakan brain drain yang mengkhawatirkan.

Bhutan kini berupaya menciptakan lapangan kerja berbasis teknologi dan keberlanjutan yang mampu menahan arus migrasi tenaga muda dan terampil.

Bitcoin Mining “Digital Gold” Berbasis Air

DHI mulai menambang Bitcoin sejak 2019, saat harga BTC masih di bawah $10.000. Kini, dengan harga BTC tembus $97.400 per 7 Mei 2025, investasi itu tampak visioner. Namun, volatilitas kripto tetap menjadi risiko nyata.

Dengan mengandalkan pembangkit listrik tenaga air (hydropower) sebesar 2,5 gigawatt dan tambahan 3 GW yang sedang dibangun Bhutan menjadikan mining ini nyaris tanpa emisi karbon.

“Bitcoin adalah digital gold,” ungkap DHI dalam laporannya. “Sebagai bagian dari strategi investasi campuran, ini bisa mendongkrak devisa tanpa membebani lingkungan.”

Namun, kejatuhan harga atau gangguan pasokan energi bisa jadi bencana, mengingat ukuran ekonomi Bhutan yang terbatas.

Mimpi Baru Gelephu Mindfulness City

Salah satu proyek paling ambisius Bhutan saat ini adalah Gelephu Mindfulness City, zona ekonomi khusus seluas 2.500 km² di perbatasan India. Konsepnya futuristik: kota yang memadukan teknologi, kesehatan, dan ketenangan batin.

Dirancang untuk menampung startup, klinik kesehatan holistik, hingga perusahaan energi hijau, proyek ini menyasar konektivitas dengan Asia Selatan dan Tenggara. Namun, pembangunan seluruh infrastruktur dari jalan hingga jalur data digital masih di tahap awal dan membutuhkan dana besar.

Mampukah Bhutan Meniru Temasek?

DHI mengakui bahwa mereka menjadikan Temasek Holdings dari Singapura sebagai acuan tata kelola. Namun, dengan hanya mengelola $3 miliar dan kepemilikan di 24 perusahaan lokal seperti Bhutan Telecom dan Bank of Bhutan, skala Bhutan jelas tak sebanding.

Tetapi ukuran bukan segalanya. Strategi Bhutan adalah:

* Bergerak cepat
 
* Struktur ringan
 
* Memaksimalkan sumber daya lokal (air dan teknologi)

Jika berhasil, Bhutan bisa menjadi contoh global bagaimana negara kecil bisa meloncat dengan strategi investasi cerdas, bukan hanya dengan mengejar industrialisasi berat.

Taruhan yang Berani, Tapi Bukan Tanpa Risiko

Bhutan sedang mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan negara lain: menggabungkan nilai tradisional, inovasi teknologi, dan kekuatan alam dalam satu model pertumbuhan.

Jika berhasil, Bhutan tak hanya mempertahankan generasi mudanya
 tetapi juga memperkenalkan wajah baru pembangunan:
 seimbang, berkelanjutan, dan digital.

Tapi jika gagal, dampaknya bisa signifikan bagi sumber daya negara yang terbatas. Saat ini, dunia menatap Bhutan bukan hanya sebagai negeri kebahagiaan, tetapi sebagai laboratorium ekonomi masa depan.

Bhutan Bertaruh pada Bitcoin dan Energi Hijau untuk Selamatkan Masa Depan Ekonominya
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan