Jun 30, 2025

AS Larang Ekspor Chip AI Nvidia ke China, Perang Teknologi Makin Memanas

Default Featured Image

Langkah cepat Amerika Serikat dalam memperketat ekspor chip AI ke China kembali menorehkan babak baru dalam perang dagang teknologi yang kian panas. Dan korban terbarunya?

Nvidia perusahaan raksasa chip asal California yang harus menelan pil pahit berupa kerugian sebesar USD 5,5 miliar hanya dalam satu kuartal akibat larangan ekspor chip AI seri H20 ke China.

Ini bukan sekadar kerugian finansial. Ini adalah tanda bahwa perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia telah bertransformasi menjadi pertempuran supremasi kecerdasan buatan.

Nvidia Tersandung Aturan yang Terus Bergerak

Ironisnya, chip H20 yang diluncurkan tahun lalu dirancang khusus untuk mematuhi pembatasan ekspor AS sebelumnya, dengan performa yang diturunkan dibandingkan H100 yang lebih canggih.

Namun dalam langkah yang mengejutkan, pemerintahan Trump justru memperketat kembali aturan, mewajibkan lisensi ekspor khusus bahkan untuk H20.

“Aturan berubah di tengah permainan, dan Nvidia kehilangan USD 5 miliar,” ujar Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital Advisors.

Chip H20 sendiri telah digunakan oleh DeepSeek, perusahaan AI asal China, untuk mengembangkan model AI bernama R1 sebuah model yang disebut-sebut sebagai saingan ChatGPT dengan biaya pelatihan jauh lebih murah.

Keberhasilan ini menjadi semacam alarm bagi Washington yang khawatir China bisa menyusul atau bahkan melampaui AS dalam kompetisi AI.

Saham Nvidia Terkapar, Pasar Global Cemas

Usai pengumuman pembatasan tersebut, saham Nvidia (NVDA) langsung merosot hampir 7%, memperkuat kekhawatiran pasar terhadap ketidakpastian regulasi yang merugikan.

Kejatuhan ini juga memperburuk sentimen global. World Trade Organization (WTO) menyatakan proyeksi perdagangan dunia tahun ini telah “memburuk secara tajam”, terutama karena kombinasi tarif baru dan kebijakan ekspor yang tidak menentu.

WTO memperkirakan pertumbuhan GDP global akan turun 0,6 poin dari proyeksi semula, dengan Amerika Utara sebagai kawasan paling terdampak 1,6 poin lebih rendah.

Tekanan Ganda Dari Gedung Putih dan Beijing

Kebijakan ekspor ini tak datang dalam ruang hampa. Ini merupakan bagian dari arahan Presiden Trump untuk melindungi keamanan nasional dengan memutus aliran teknologi canggih ke negara-negara yang dianggap “berisiko tinggi”.

Departemen Perdagangan AS menegaskan bahwa kebijakan baru mencakup chip Nvidia H20, AMD MI308, dan seluruh produk sejenis. Lisensi ekspor diberlakukan tanpa batas waktu yang jelas. Dalam situasi seperti ini, kepastian hukum jadi barang langka bagi pelaku industri.

Sementara itu, China tidak tinggal diam. Sejak keberhasilan DeepSeek mengguncang industri global, pemerintah Tiongkok mendorong lonjakan investasi di sektor AI domestik. Raksasa seperti Huawei dan Cambroon mulai memproduksi chip tandingan meski analis menyebut chip buatan dalam negeri masih tertinggal dalam aspek ekosistem dan performa.

Mimpi AI Global Terancam?

Larangan ekspor ini bukan hanya menutup pintu ekspor Nvidia ke pasar China yang menyumbang 13% dari total pendapatan tahun lalu tetapi juga memicu kekhawatiran lebih besar tentang nasib inovasi global.

“Pembatasan ini bisa menghancurkan pertumbuhan dan kesempatan ekonomi, serta membahayakan kemajuan AI secara global,” tulis Ned Finkle, Wakil Presiden Urusan Pemerintahan Nvidia, dalam sebuah blog perusahaan.

Dia menambahkan bahwa adopsi AI bukan hanya penting untuk AS, tetapi juga untuk industri global di berbagai sektor, dari otomotif hingga kesehatan.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Sinyal dari Washington cukup jelas: pembatasan teknologi akan terus berlanjut. Bahkan ada kemungkinan pembatasan baru terhadap rantai pasok elektronik dan semikonduktor, sebagai bentuk “pertahanan nasional”.

Dan ini hanya sebagian dari efek domino. Banyak analis, termasuk dari Morgan Stanley dan Wedbush Securities, percaya bahwa serangan balasan dari China bisa menyusul, baik dalam bentuk larangan ekspor logam tanah jarang maupun pembatasan terhadap perusahaan teknologi AS yang beroperasi di sana.

AI Jadi Medan Perang Utama

Perang dagang AS China kini melampaui tarif dan bea masuk. Ia telah menjelma menjadi pertarungan penguasaan teknologi masa depan. Dan Nvidia, sebagai simbol kekuatan chip AI dunia, tengah berdiri di titik paling rawan.

Investor, pengembang teknologi, hingga negara-negara sekutu AS kini harus berpikir ulang: apakah dominasi AI bisa dicapai tanpa pasar China, atau apakah benteng teknologi AS akan menjadi tembok yang juga menutup diri dari peluang global?

AS Larang Ekspor Chip AI Nvidia ke China, Perang Teknologi Makin Memanas
by Kiki A. Ramadhan


Artikel lainnya

Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat

Ketika Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, mengambil panggung di Economic Club of Chicago pada hari Rabu, pasar langsung merespons. Bukan dengan tepuk tangan tetapi dengan kepanikan.Dalam waktu singkat setelah pidatonya, indeks Dow Jones ambruk 690 poin. Dan itu bukan satu-satunya indikator yang tumbang. S&P 500 terjun 2,2%, sementara Nasdaq, yang sarat saham teknologi, terpeleset hingga 3%.Apa yang dikatakan Powell? Sederhana tapi menggetarkan: tarif dagang yang diterapkan Presiden Donald Trump bukan hanya bersifat politis mereka sedang menjadi beban ekonomi. "Tingkat kenaikan tarif yang diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Powell."Efek ekonomi dari kebijakan ini kemungkinan juga akan lebih besar, termasuk inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang melambat."Tarif, Inflasi, dan Kebingungan PasarKomentar Powell datang di tengah eskalasi perang dagang antara AS dan China. Meski Trump sempat menghentikan tarif untuk sebagian negara selama 90 hari, ia justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China, hingga mencapai 145%.Sebagai balasan, China pun menaikkan tarifnya terhadap produk AS ke angka 125%.Bagi pasar keuangan, ini seperti menonton pertandingan tenis berapi-api tanpa tahu kapan bola api akan mendarat di tribun. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian ini, volatilitas menjadi teman harian.Powell sendiri mengakui, "Pasar sedang

Wall Street Guncang! Powell Kritik Tarif Trump, Ekonomi AS Terancam Melambat
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak

Bitcoin kembali membuat kejutan. Pada 1 Mei 2025, harga BTC nyaris menembus level $97.000, mendorong pasar kripto ke dalam hiruk-pikuk optimisme baru. Namun, lonjakan harga ini bukan sekadar gejolak biasa di baliknya ada gelombang besar yang tengah membentuk ulang lanskap keuangan global: masuknya raksasa Wall Street secara serius ke dunia kripto.Dua nama besar, Morgan Stanley dan Charles Schwab, resmi mengumumkan langkah konkrit mereka untuk membuka pintu trading aset kripto bagi investor ritel. Bukan lagi sekadar bicara ETF atau eksposur tidak langsung. Kali ini, mereka mengincar perdagangan spot dan itu berarti revolusi.Morgan Stanley Dari Klien Kaya ke Investor BiasaSelama ini, Morgan Stanley memang telah menyediakan eksposur Bitcoin dan Ethereum bagi klien kaya melalui ETF dan produk derivatif. Tapi yang berubah sekarang adalah skala.Lewat platform E*Trade broker ritel yang mereka akuisisi tahun 2020 Morgan Stanley sedang mengembangkan infrastruktur untuk memungkinkan trading langsung kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Targetnya: 2026, dan itu bisa mengubah segalanya.Untuk mendukung proyek ini, Morgan Stanley kabarnya tengah menjajaki kemitraan dengan sejumlah perusahaan kripto demi membangun "pipa teknologi" yang andal dan teregulasi. Ini bukan pekerjaan semalam, tapi sinyalnya jelas: permintaan dari basis pengguna E*Trade yang luas mendorong percepatan transformasi digital di tubuh bank investasi ini.

Wall Street Masuk Kripto: Morgan Stanley & Schwab Buka Akses Ritel, Bitcoin Melonjak
byKiki A. Ramadhan
Jun 30, 2025
0 Comments

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya

Bayangkan kembali saat Steve Jobs mengeluarkan iPhone pertama kali: satu momen yang tak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tapi juga cara kita hidup. Kini, pertanyaannya adalah kapan Web3 akan mengalami momen “iPhone”-nya sendiri?Momen yang mampu memindahkan teknologi ini dari ranah geek ke genggaman miliaran orang. Meski potensinya luar biasa mampu merevolusi keuangan, digital identity, hingga interaksi sosial Web3 masih terasa jauh dari mainstream. Apa yang sebenarnya menahan?Berikut ini lima tantangan terbesar yang masih harus ditaklukkan oleh Web3 sebelum ia bisa mewujudkan Apple moment-nya, dan siapa saja yang sedang mencoba membuka jalan.Kurangnya Solusi Mobile-Native Web3 Masih Terjebak di DesktopDi dunia di mana 92,1% pengguna internet mengakses lewat smartphone, Web3 justru masih terjebak dalam paradigma desktop. Dari 100 dApps teratas di DappRadar, hanya 8 yang benar-benar dirancang untuk mobile.Sebuah ironi mengingat di negara-negara seperti India, Vietnam, dan Afrika Selatan, ponsel adalah satu-satunya akses ke internet bagi sebagian besar penduduknya.Namun ada cahaya di ujung lorong. Celo, blockchain yang fokus pada strategi mobile-first, mulai menunjukkan hasil. Proyek seperti Opera MiniPay telah menjangkau lebih dari 3 juta dompet digital di Afrika, sementara Valora Wallet mencatat hampir 700.000 alamat aktif harian yang menggunakan stablecoin.Solusi ini menunjukkan

Web3 Belum Meledak? Ini Sebabnya dan Siapa yang Sedang Membuka Jalannya
byKiki A. Ramadhan