Dari Amazon hingga Meta
Empat raksasa teknologi dunia kini tampak kompak mengerem laju profit jangka pendek demi memperluas pijakan di era AI. Amazon (AMZN) menaikkan proyeksi belanja modal tahunan menjadi US$125 miliar, naik dari outlook sebelumnya US$118,5 miliar.
Alphabet (GOOG) mengikuti langkah tersebut, menaikkan panduan capex menjadi US$92 miliar dari US$85 miliar, menandai kenaikan untuk kuartal ketiga berturut-turut. Meta (META) bahkan sudah tiga kali dalam setahun menaikkan anggaran AI-nya, kini di kisaran US$71 miliar.
Sementara itu, Microsoft (MSFT) melaporkan belanja modal kuartal pertamanya mencapai US$35 miliar, melampaui ekspektasi analis Bloomberg yang mematok US$30 miliar.
Menariknya, Microsoft menegaskan bahwa pengeluaran akan tumbuh lebih cepat pada tahun fiskal 2026 dibanding 2025 indikasi bahwa perusahaan belum berencana menurunkan gas sedikit pun.
Semua angka tersebut bahkan belum mencakup total investasi yang dikeluarkan lewat biaya operasional, seperti kontrak dengan penyedia pusat data AI pihak ketiga. Misalnya, Microsoft dan Meta kini menjadi pelanggan besar CoreWeave (CRWV), penyedia pusat data berbasis GPU yang kini ikut menikmati lonjakan permintaan AI global.
Gelembung yang Masih Mengembang
Bagi analis, masifnya investasi ini bukan tanda bahaya, melainkan bukti bahwa “gelembung AI masih punya jarak panjang sebelum meletus.” Menurut David Nicholson dari Futurum Group, dunia masih berada dalam fase ekspansi AI yang luar biasa besar, dan masih banyak ruang bagi pertumbuhan nilai ekuitas.
“Kita masih jauh dari risiko koreksi besar,” katanya kepada Yahoo Finance.
Faktanya, pasar tampak membenarkan pandangan itu. Saham Amazon baru saja mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, sementara Alphabet juga mencatat lonjakan signifikan pasca laporan pendapatan.
Bahkan dengan sedikit kekecewaan di Azure milik Microsoft dan keraguan terhadap strategi AI Meta, kapitalisasi pasar gabungan keempat raksasa itu kini melampaui US$9 triliun, menandakan kepercayaan investor terhadap AI masih sangat tinggi.
AI Sudah Mulai Menghasilkan Uang
Bukan hanya investasi AI kini mulai menghasilkan uang nyata. Alphabet mengonfirmasi bahwa kecerdasan buatan sudah menyumbang miliar dolar pendapatan tambahan untuk segmen Google Cloud, mendorong backlog perusahaan melonjak ke US$158 miliar, dari US$86,8 miliar tahun lalu.
Di sisi lain, Amazon Web Services (AWS) mencatat backlog hingga US$200 miliar, dengan sebagian besar pertumbuhan didorong oleh permintaan layanan berbasis AI generatif.
Microsoft, dengan pendapatan Intelligent Cloud sebesar US$30,9 miliar, juga melampaui ekspektasi analis yang memproyeksikan US$30,2 miliar, meskipun margin tekanan mulai terlihat.
Artinya, proyek AI mulai membawa arus kas nyata, meski pengembalian penuh terhadap investasi besar masih sulit diukur. “Kita belum tahu hasil akhirnya seperti apa,” kata Kim Forrest, analis di Bokeh Capital Partners.
“Namun yang jelas, perusahaan-perusahaan paling menguntungkan di dunia ini masih membiayai ekspansi AI dari kantong mereka sendiri bukan dari utang.”
Tanda-Tanda Kelelahan: Depresiasi, Layoff, dan Margin Tipis
Meski begitu, tidak semua indikator bersinar. Laporan terbaru menunjukkan depresiasi aset khususnya GPU dan infrastruktur yang dibeli beberapa tahun lalu mulai menggigit margin keuntungan.
Alphabet CFO Anat Ashkenazi menegaskan adanya peningkatan signifikan dalam biaya depresiasi kuartalan, dan tren itu akan terus menekan margin di tahun-tahun mendatang. Amazon dan Meta juga melaporkan hal serupa dalam laporan keuangannya.
Menurut analis Gil Luria dari D.A. Davidson, efeknya akan sangat besar: “Kita sudah melihat perusahaan mulai menekan perekrutan dan bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja untuk menyeimbangkan tekanan margin akibat depresiasi.”
Fenomena ini memperlihatkan sisi gelap dari ekspansi besar-besaran bahwa setiap GPU dan pusat data baru membawa beban akuntansi jangka panjang yang bisa menggerus profitabilitas bila tidak diimbangi monetisasi cepat.
Apakah Ini Awal Gelembung AI atau Sekadar Awal Revolusi?
Para investor kini dihadapkan pada dilema klasik: apakah mereka sedang menyaksikan awal dari “gelembung dot-AI”, atau babak pertama dari revolusi teknologi paling penting dalam 20 tahun terakhir?
Di satu sisi, valuasi saham teknologi sudah mencetak rekor baru, dan ekspektasi terhadap AI kadang nyaris utopis. Namun di sisi lain, produk AI kini mulai menghasilkan pendapatan konkret dan mengubah operasi bisnis lintas sektor dari perbankan, logistik, hingga kesehatan.
Pasar tampaknya setuju dengan pandangan kedua. Optimisme ini mungkin bukan sekadar euforia, melainkan refleksi atas keyakinan bahwa AI akan menjadi tulang punggung ekonomi digital berikutnya.
“Kita belum melihat tanda-tanda kelelahan permintaan,” ujar Forrest. “Selama perusahaan seperti Amazon dan Microsoft masih bisa membiayai ekspansi AI tanpa mengorbankan arus kas, pasar akan terus memberi mereka ruang.”
Fenomena lonjakan belanja AI di Wall Street hari ini seolah menegaskan satu hal: dunia belum selesai dengan hype kecerdasan buatan. Bahkan, mungkin baru saja memulainya.
Namun sejarah mengingatkan bahwa euforia besar hampir selalu diikuti dengan fase penyesuaian keras. Jadi, pertanyaan penting bagi investor bukan lagi “Apakah ini gelembung?” melainkan “Seberapa jauh lagi ia bisa mengembang sebelum meletus?”
Selama para raksasa seperti Amazon, Alphabet, Microsoft, dan Meta masih sanggup membiayai mimpi AI mereka dengan uang tunai sendiri, mungkin gelembung ini akan terus mengembang dan membawa pasar saham naik bersamanya.
Tetapi, seperti yang sering dikatakan para veteran Wall Street: “Bahkan gelembung terbesar pun indah… sampai ia pecah.”

		

