Bitcoin diproyeksikan akan menghadapi momen penting pada tahun 2026 ketika siklus empat tahunnya berpotensi bertabrakan dengan “tembok utang” (debt wall) di pasar keuangan tradisional. Sekitar $33 triliun utang di negara-negara maju akan jatuh tempo pada tahun tersebut, memicu kebutuhan refinancing besar-besaran di tengah suku bunga yang masih tinggi.
Kondisi ini berisiko menyerap likuiditas pasar dan memberi tekanan pada aset berisiko seperti saham, obligasi high-yield, pasar negara berkembang, dan kripto.
Data menunjukkan likuiditas global kemungkinan akan mencapai puncaknya pada akhir 2025 sebelum memasuki fase pengetatan. Secara historis, puncak likuiditas sering diikuti oleh volatilitas pasar karena biaya modal naik dan investor menuntut premi risiko lebih tinggi.
Bagi Bitcoin, fase ini bertepatan dengan potensi periode bear market dalam siklusnya, sehingga tanpa ekspansi likuiditas tambahan, tekanan harga bisa semakin dalam. Namun, jika tekanan utang memaksa bank sentral kembali melonggarkan kebijakan dan menyuntikkan likuiditas, hal ini justru dapat menjadi katalis positif bagi Bitcoin.
Selain itu, tren pasar jangka panjang (secular bull market) yang dimulai pada 2009 diperkirakan masih bisa berlanjut hingga sekitar 2028, meski diwarnai turbulensi di pertengahan siklus. Pola ini membuka peluang bagi Bitcoin untuk mengalami pemulihan kuat pada 2027–2028, bertepatan dengan siklus halving berikutnya.
Menurut analisa yang dilakukan oleh team research Nanovest, benturan antara siklus Bitcoin dan dinamika pasar tradisional di 2026 akan menjadi ujian besar bagi ketahanan aset kripto ini. Investor yang memahami interaksi antara faktor makro, likuiditas global, dan siklus internal Bitcoin akan lebih siap memanfaatkan peluang sekaligus mengelola risiko di tengah potensi gejolak tersebut.
By RESEARCH NANOVEST
(Bryan Oskar)
*Disclaimer On*