Penjualan Turun Tipis, tapi Ada “Tanda Kehidupan”
Raksasa ritel asal Amerika Serikat, Target Corporation (NYSE: TGT), melaporkan penurunan penjualan bersih sebesar 0,9% year-on-year (YoY) pada kuartal II 2025. Angka ini setara dengan $25,2 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu.
Meski headline terlihat negatif, ada detail yang menarik: penurunan penjualan barang dagangan (merchandise) sebesar 1,2% ternyata berhasil sedikit diimbangi oleh kenaikan penjualan non-merchandise hingga 14,2%. Artinya, Target masih punya kekuatan di luar lini utamanya, terutama dari iklan, jasa, dan sumber pendapatan alternatif.
Jika dibandingkan kuartal I 2025, kinerja Q2 sebenarnya lebih baik hampir dua poin persentase. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan lalu lintas pengunjung (traffic) dan tren penjualan, terutama di toko fisik sebuah titik terang di tengah tekanan ritel.
Laba Bersih Anjlok 21,5%: Investor Wajib Waspada
Meski pendapatan relatif stabil, laba bersih Target anjlok hingga 21,5% YoY, turun menjadi $935 juta. Earnings per share (EPS) juga terkoreksi dari $2,57 di Q2 2024 menjadi $2,05 di Q2 2025.
Koreksi ini mencerminkan kenaikan biaya operasional, tekanan dari diskon dan markdown yang lebih tinggi, serta pergeseran kategori produk yang memengaruhi margin.
- Operating income: $1,3 miliar (turun 19,4% YoY)
- Operating margin: 5,2% (vs 6,4% tahun lalu)
- Gross margin: 29% (vs 30% di 2024)
Turunnya margin jelas menjadi sinyal bahwa Target harus berhati-hati menjaga profitabilitas di tengah pola belanja konsumen yang masih berubah.
Prospek 2025: Fokus ke Back-to-School dan Holiday Season
CEO Target, Brian Cornell, menekankan bahwa Q2 menunjukkan “tanda-tanda pemulihan yang menjanjikan.” Cornell menyoroti perbaikan lalu lintas toko, tren penjualan yang mulai pulih, serta disiplin dalam pengelolaan biaya.
Seiring masuknya musim back-to-school hingga liburan akhir tahun periode emas bagi sektor ritel Target berharap bisa memperbaiki momentum.
Untuk tahun fiskal 2025, manajemen masih mempertahankan panduan:
- Penjualan: diperkirakan turun rendah di kisaran “low single digit”
- GAAP EPS: $8–$10
- Adjusted EPS: $7–$9 (tidak termasuk keuntungan dari litigasi kuartal I)
Pergantian CEO: Era Baru di Depan Mata
Selain laporan keuangan, Target juga mengumumkan kabar penting di level manajemen. Michael Fiddelke, Chief Operating Officer (COO), ditunjuk secara bulat oleh dewan direksi untuk menggantikan Cornell sebagai CEO mulai 1 Februari 2026.
Cornell, yang telah memimpin Target sejak 2014, akan berpindah ke posisi Executive Chair of the Board. Pergantian ini menandai transisi kepemimpinan yang bisa membuka strategi baru bagi Target menghadapi disrupsi digital dan persaingan ketat dari Walmart maupun Amazon.
Apa Artinya untuk Investor?
Di satu sisi, penurunan laba bersih dan margin tentu menjadi alarm peringatan. Investor jangka pendek mungkin melihat saham Target masih berisiko, apalagi sektor ritel sedang ditekan inflasi, perubahan preferensi konsumen, dan biaya operasional yang meningkat.
Namun di sisi lain, perbaikan tren traffic dan penjualan digital (+4,3% di Q2 2025) bisa menjadi katalis jangka panjang. Jika momentum back-to-school dan holiday season terbukti kuat, Target berpotensi memperbaiki margin dan mengembalikan kepercayaan pasar.
Target vs Walmart dan Amazon: Siapa yang Lebih Tahan di 2025?
Jika melihat kinerja Q2 2025, Target jelas menghadapi tekanan margin. Namun pertanyaan besarnya: bagaimana posisinya dibanding Walmart (NYSE: WMT) dan Amazon (NASDAQ: AMZN) yang juga bermain di pasar ritel raksasa AS?
Walmart: Stabil di Tengah Inflasi
Walmart, pesaing langsung Target di kategori “big-box retailer”, justru mencatat kinerja relatif lebih stabil. Pada laporan terakhir, Walmart masih mampu membukukan pertumbuhan penjualan mid-single digit berkat kekuatan di:
- Produk kebutuhan pokok (groceries)
- Jaringan logistik yang lebih efisien
- Ekspansi layanan e-commerce
Perbandingan margin juga menarik: Walmart berhasil menjaga gross margin lebih baik daripada Target, sebagian karena skala distribusi yang lebih besar dan kemampuan negosiasi harga dengan pemasok.
Kesimpulannya, Walmart lebih defensif dalam menghadapi inflasi dan perubahan pola belanja.
Amazon: Raja E-commerce yang Tak Terbendung
Sementara itu, Amazon masih menjadi “hantu besar” bagi semua retailer tradisional. Dengan pertumbuhan e-commerce yang terus berlanjut, Amazon mampu meraih:
- Pertumbuhan penjualan digital dua digit di Q2 2025
- Laba operasional dari segmen AWS (Amazon Web Services) yang menopang profitabilitas total
- Penetrasi kuat dalam membership Prime, yang mendorong loyalitas pelanggan
Bagi Target, tantangan utamanya bukan sekadar menyaingi harga Amazon, tapi juga memberikan pengalaman belanja hybrid (online + offline) yang mampu menarik konsumen kembali ke toko fisik.
Posisi Target di Antara Dua Raksasa
Jika dirangkum, posisi Target saat ini berada di tengah:
-
- Lebih kecil dari Walmart dalam skala operasional
- Lebih lemah dari Amazon dalam penetrasi digital
- Namun punya kekuatan unik berupa kombinasi:
-
- Brand loyal di kalangan konsumen menengah AS
- Toko fisik yang strategis di pusat komunitas
- Diversifikasi ke penjualan non-merchandise (iklan, jasa, dll.) yang mulai bertumbuh
Pertanyaan strategisnya adalah apakah Target bisa mengubah penurunan margin sementara ini menjadi pijakan untuk pertumbuhan jangka panjang, terutama dengan pergantian CEO pada 2026.
Dampak bagi Investor dan Pasar Saham
Bagi investor, perbandingan ini memberikan gambaran jelas:
- Walmart: pilihan aman dan stabil di sektor ritel
- Amazon: mesin pertumbuhan berbasis digital dan cloud
- Target: opsi “turnaround play” dengan potensi reward lebih tinggi, tetapi juga risiko lebih besar
Jika musim belanja akhir tahun 2025 (holiday season) berhasil memberikan lonjakan penjualan, Target bisa mencatat relief rally di sahamnya. Namun, jika margin kembali tertekan, pasar bisa lebih memilih Walmart atau Amazon sebagai tempat berlindung.
Target Q2 2025 adalah potret dua wajah: penjualan hanya turun tipis, tapi margin dan laba bersih mengalami tekanan besar. Dengan transisi kepemimpinan yang akan datang dan fokus pada ekspansi non-merchandise, Target mencoba menyeimbangkan strategi antara pertumbuhan jangka panjang dan bertahan dalam badai jangka pendek.
Bagi investor dan pengamat ritel, pertanyaan utamanya: apakah Target sedang menyiapkan rebound, atau justru menghadapi babak baru dari tekanan kompetisi?
Target memang masih punya PR besar, tetapi tidak bisa diremehkan. Dengan strategi memperkuat toko fisik, mengembangkan digital, dan masuk ke lini pendapatan baru, perusahaan ini masih punya peluang untuk menjadi pemain hybrid ritel yang relevan.
Dalam peta persaingan 2025, Target ibarat pemain tengah lapangan: tidak sebesar Walmart, tidak se-digital Amazon, tetapi punya ruang manuver unik yang bisa jadi kunci ke depannya.